Pembatal Puasa
Berikut ini akan kami sebutkan beberapa alat modern [3] yang biasa digunakan oleh manusia dan hukum penggunaannya bagi orang yang sedang berpuasa.
Berikut ini akan kami sebutkan beberapa alat modern [3] yang biasa digunakan oleh manusia dan hukum penggunaannya bagi orang yang sedang berpuasa.
1. بخاخ الربو (Bronkodilator)
Yaitu sebuah alat yang berisikan obat pembuka saluran bronki yang menyempit oleh denyutan, yang disemprotkan ke mulut untuk mengobati atau meredakan penyakit sejenis asma/sesak napas [4].
Alat ini mengandung beberapa unsur di dalamnya, antara lain: air, oksigen, dan bahan-bahan kimia lainnya.
Hukumnya?
Para ulama berbeda pendapat tentang alat ini menjadi dua pendapat:
(a) Pendapat pertama. Mereka mengatakan bahwa alat ini tidak membatalkan puasa. Ini adalah pendapat Syaikh Bin Baz [5], Ibnu Utsaimin [6], Ibnu Jibrin [7], dan keputusan Lajnah Da’imah [8].
Dalil mereka:
- Menurut mereka alat ini tidak membatalkan puasa lantaran bukan termasuk makan dan minum, bahkan unsur yang masuk ke dalam rongga hanya angin saja.
- Andaikata kita katakan ada unsur kimia yang masuk ke dalam rongga walaupun sedikit, maka ini hanyalah perkiraan yang belum pasti, dan ini adalah sesuatu yang meragukan. Sedangkan asal hukum puasa adalah sah/tidak batal, sampai ada pembatal yang jelas.
(b) Pendapat kedua. Mereka mengatakan bahwa alat seperti ini membatalkan puasa. Ini adalah pendapat Fadhl Hasan Abbas [9], Syaikh Muhammad Mukhtar as Salami, dan para ahli medis di zaman ini [10].
Dalil mereka:
- Menggunakan alat ini hampir dipastikan adanya unsur kimia yang masuk ke dalam rongga sehingga membatalkan puasa.
Pendapat yang kuat. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, yaitu alat ini tidak membatalkan puasa, lantaran tidak bisa dipastikan unsur bahan kimia dari alat ini yang masuk ke dalam rongga, sehingga asal hukum puasa adalah sah. Kemudian alat ini di-qiyas-kan dengan siwak yang mempunyai beberapa unsur bahan kimia, yang apabila siwak digunakan, pasti unsur-unsur kimia [11] yang berupa angin itu masuk ke rongga, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan siwak walaupun beliau sedang berpuasa [12].
Walaupun demikian, sebaiknya tidak menggunakan alat (bronkodilator) ini ketika berpuasa kecuali terpaksa [13].
2. الإبر العلاجيّة (Jarum suntik/injeksi)
Yaitu penggunaan obat yang dimasukkan dengan jarum dan disuntikkan kepada bagian tubuh seperti paha dan semisalnya.
Hukumnya?
Apabila jarum suntik tidak berfungsi sebagai pengganti makan atau minum, maka para ulama kontemporer mengatakan bahwa jarum suntik tidak membatalkan puasa. Sebagaimana pendapat Syaikh Bin Baz [14], Ibnu Utsaimin [15], Ibnu Bakhith [16], Muhammad Saltut [17], DR. Fadhl Hasan Abbas [18], dan keputusan Majma’ al Fiqhi [19], dan tidak diketahui perbedaan pendapat dalam masalah ini [20].
Dalil mereka:- Menurut mereka, jarum suntik yang tidak berfungsi sebagai pengganti makanan dan minuman adalah sekedar memasukkan obat ke aliran darah dan tidak sampai ke rongga manusia. Sehingga tidak dapat dikatakan sebagai makanan dan minuman, dan tidak dapat dikatakan sebagai pengganti keduanya, juga tidak semakna dengan makanan dan minuman; bahkan tidak termasuk ke dalam semua kaidah pembatal puasa.
- Asal hukum puasa adalah sah (tidak batal), kecuali ada pembatal yang jelas dengan dalil yang jelas pula, dan dalam hal ini tidak ada dalil bahwa sekedar penggunaan jarum suntik membatalkan puasa.
3. الإبر المغذيّة (Infus)
Yaitu suplemen yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia dengan cara suntikan (masuk ke pembuluh darah, red), berfungsi sebagai pengganti makanan dan minuman, dan biasa digunakan oleh orang sakit yang membutuhkan cairan tambahan.
Hukumnya?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapat:
(a) Pendapat pertama. Mereka mengatakan bahwa cairan infus dan semua yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia yang berfungsi sebagai pengganti makanan dan minuman walaupun tidak melalui mulut dan hidung adalah membatalkan puasa. Inilah pendapat Ibnu Sa’di [21], Ibnu Baz [22], Ibnu Utsaimin [23], dan juga merupakan keputusan al Majma’ al Fiqhi [24].
Dalil mereka:
- Cairan infus apabila berfungsi menggantikan makanan dan minuman, maka hukumnya sama dengan makanan dan minuman.
- Hal ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa orang-orang sakit yang menggunakannya mampu bertahan berhari-hari bahkan berminggu-minggu tanpa makan dan minum. Ini menunjukkan bahwa infus sama hukumnya dengan makanan dan minuman yang membatalkan puasa.
(b) Pendapat kedua. Mereka mengatakan bahwa infus tidak membatalkan puasa, ini adalah pendapat Syaikh Muhammad Bakhith [25], Muhammad Saltut [26], dan Sayyid Sabiq [27].
Dalil mereka:
- Penggunaan alat seperti ini tidak membatalkan puasa lantaran tidak ada sesuatu yang masuk ke dalam rongga dari mulut atau hidung.
Pendapat yang kuat. Pendapat yang kuat adalah pendapat pertama, yaitu penggunaan alat semacam ini membatalkan puasa karena alasan-alasannya lebih kuat.
4. قطرة الأنف (Obat tetes hidung)
Hidung adalah saluran (jalan) yang sangat berkaitan erat dengan tenggorokan dan dapat mengantarkan sesuatu yang masuk melalui hidung menuju tenggorokan, diteruskan ke dalam rongga manusia, sebagaimana telah diketahui dengan kenyataan dan juga dengan dalil syar’i, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَ بَالِغْ فِي الإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ اَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
“Hiruplah air dalam-dalam ke hidung kecuali kalau engkau berpuasa” (HR. Tirmidzi: 27, Abu Dawud: 2366, Ibnu Majah: 407, dan dishahihkan oleh al Albani dalam Irwa’ul Ghalil: 935)
Hukumnya?
Para ulama berbeda pendapat dalam penggunaan tetes hidung ketika sedang berpuasa.
(a) Pendapat pertama. Mereka mengatakan tidak membatalkan puasa. Ini adalah pendapat Syaikh Haitsam al Khayyath dan ‘Ajil an Nasyami [28].
Dalil mereka:
- Menurut mereka bahwa tetes hidung yang masuk ke dalam rongga sangat sedikit, dan cairan yang sangat sedikit itu kalau dibandingkan dengan bekas berkumur ketika wudhu masih jauh lebih sedikit; padahal seorang yang berkumur ketika berwudhu bisa dipastikan ada sisa-sisa airnya masuk ke rongganya dan sudah dimaklumi bersama bahwa puasanya tidak batal.
- Tetes hidung walaupun masuk ke dalam rongga manusia tetapi dia tidak berfungsi sebagai pengganti makan dan minum.
(b) Pendapat kedua. Mereka mengatakan bahwa tetes hidung membatalkan puasa. Ini adalah pendapat Syaikh Bin Baz [29], Ibnu Utsaimin [30], Muhammad as Salami, dan DR. Muhammad al Alfi [31].
Pendapat yang kuat. Pendapat yang kuat adalah pendapat kedua, yaitu tetes hidung yang sampai masuk ke dalam rongga membatalkan puasa. Hal ini dikuatkan oleh beberapa hal, diantaranya:
- Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah lalu:
وَ بَالِغْ فِي الإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ اَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
“Hiruplah air dalam-dalam ke hidung kecuali kalau engkau berpuasa” (HR. Tirmidzi: 27, Abu Dawud: 2366, Ibnu Majah: 407, dan dishahihkan oleh al Albani dalam Irwa’ul Ghalil: 935)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang yang berpuasa untuk terlalu dalam ketika menghirup air ke hidungnya. Tidaklah kita mengetahui hikmahnya melainkan bahwa dikhawatirkan (apabila terlalu kuat menghirup air ke dalam hidung) air akan masuk ke dalam rongga sehingga membatalkan puasa, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, dan sudah kita maklumi bersama bahwa air yang masuk ke hidung ketika berwudhu (ber-istinsyaq) tidak akan menggantikan makan dan minum [32].
- Hidung adalah saluran yang berkaitan sangat erat dengan mulut dan keduanya adalah jalan (saluran) menuju rongga manusia; ini terbukti dengan kenyataan, berbeda dengan mata. Oleh karena itu, suatu ketika seorang yang tersedak akan keluar makanan dan minuman dari mulut dan hidungnya. Begitu juga kita menjumpai suatu ketika ada seorang muntah dari mulut dan hidungnya secara bersama-sama.
- Bahkan akhir-akhir ini telah digunakan cara memasukkan cairan pengganti makanan dan minuman melalui hidung bagi orang yang sedang mengalami gangguan pada mulutnya (NGT = Nasogastric Tube, selang untuk memasukkan makanan dan minuman dari hidung dan terhubung sampai ke lambung -admin). Wallahu a’lam.
5. قطرة العين (Obat tetes mata)
Pembahasan masalah ini sebenarnya bisa di-qiyas-kan/digabungkan kepada pembahasan penggunaan “celak mata” ketika sedang berpuasa, baik celak yang berfungsi untuk obat mata, atau hanya untuk sekedar berhias. Masalah penggunaan celak mata bagi orang yang berpuasa telah dibahas oleh para ulama terdahulu.
Hukum celak mata ketika berpuasa
Para ulama terdahulu berbeda pendapat tentang penggunaan celak mata ketika sedang berpuasa.
Pendapat pertama. Mereka mengatakan celak mata tidak membatalkan puasa. Ini adalah madzhab imam Abu Hanifah, dan madzhab imam Syafi’i [33], dan juga dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawanya 25/242.
Dalil mereka:
- Mereka mengatakan celak mata walaupun sampai terasa di tenggorokan tidaklah membatalkan puasa; lantaran mata bukan termasuk saluran yang mengantarkan sesuatu ke dalam rongga manusia, dan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menyebutkan hidung saja yang ada kaitannya dengan tenggorokan sebagaimana dalam hadits yang telah lalu.
Pendapat kedua. Mereka mengatakan celak mata membatalkan puasa apabila terasa di tenggorokan. Ini adalah pendapat madzhab imam Malik dan madzhab imam Ahmad [34].
Dalil mereka:
- Menurut mereka, mata sangat berkaitan erat dengan tenggorokan sehingga mengantarkan sesuatu yang masuk ke mata kemudian menuju rongga manusia, dan ini terbukti, bahwa seorang yang menggunakan celak mata (terutama jenis celak yang dingin) dia akan segera merasakannya pada tenggorokannya.
Pendapat yang kuat tentang celak mata adalah pendapat yang pertama, yaitu celak mata tidak membatalkan puasa, walaupun sampai terasa pada tenggorokan atau pada rongga manusia. Pendapat ini dikuatkan oleh beberapa hal, diantaranya:
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya melarang ber-istinsyaq (menghirup atau memasukkan air ke hidung) dalam-dalam ketika sedang berpuasa, dan tidak melarang yang lainnya.
- Terbukti dengan keadaan para sahabat yang menggunakan celak mata, dan mereka tidak membatalkan puasanya dengan penggunaan celak mata.
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabatnya menggunakan celak mata secara umum setiap saat tanpa dikecualikan ketika puasa (lihat HR. Bukhari kitab ath Thib: 18).
- Adapun perkataan bahwa mata ada kaitan erat dengan tenggorokan, maka ini bukanlah dalil syar’i, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.
- Celak mata bukan makanan dan minuman yang dimasukkan ke dalam rongga melalui mulut atau hidung, juga tidak berfungsi sebagai makanan dan minuman, dan tidak dapat menggantikan keduanya.
Tetes mata dan pendapat yang kuat
Kami tidak menumpai pembahasan tetes mata bagi orang yang berpuasa di dalam kitab-kitab para pendahulu. Akan tetapi, kami menjumpainya telah dibahas oleh para ulama kontemporer; kebanyakan mereka mengatakan bahwa penggunaan obat tetes mata tidak membatalkan puasa walaupun sampai terasa di tenggorokan. Ini adalah pendapat Syaikh Ibnu Baz [35], Ibnu Utsaimin [36], DR. Fadhl Muhammad Abbas [37], DR. Wahbah az Zuhaili, DR. Shiddiq adh Dharir dan kebanyakan ahli medis [38].
Pendapat mereka didasari oleh dalil-dalil yang telah lalu. Selain itu, juga dikuatkan oleh beberapa hal, diantaranya:
- Menurut penelitian, kelopak mata tidak bisa menampung sedikit pun dari benda cair. Oleh karena itu, bila seseorang meneteskan satu tetes obat mata (yang ukurannya ± 0,06 mm), pasti cairan itu keluar/tumpah dari kelopak mata; padahal satu tetes itu sangat sedikit. Sehingga cairan yang masuk ke dalam kelopak mata sangatlah sedikit, apalagi yang sampai ke tenggorokan adalah lebih sangat sedikit lagi; dan ini menjadikan hal tersebut dianggap tidak ada (dimaafkan).
- Telah terbukti dalam penelitian medis bahwa yang dirasa pada tenggorokan hanya sekedar rasa dan tidak ada wujud zat/bendanya. Hal itu lantaran terlalu sedikitnya cairan yang bisa ditampung oleh kelopak mata, kemudian cairan yang sangat sedikit tersebut diserap urat-urat kelopak mata dan habislah cairan itu, kemudian tinggallah sisa-sisa rasa cairannya saja yang dapat dirasakan tenggorokan.
- Adapun rasa cairan di tenggorokan, maka itu tidak harus membatalkan puasa, dan itu bukan alasan syar’i untuk membatalkan puasa. Oleh karena itu, sebagai bandingan, apabila ada seseorang yang menginjak buah Handhalah [39] kemudian dia merasakan pahitnya buah ini di tenggorokan dan alat pencernaannya, maka puasanya tidak batal dan tetap sah.
6. قطرة الأذن (Tetes telinga)
Yaitu cairan yang diteteskan ke dalam telinga sebagai obat atau sekedar pembersih bagian dalam telinga.
Hukumnya?
Masalah tetes telinga telah dibahas oleh para ulama terdahulu.
Pendapat pertama. Mereka mengatakan tetes telinga membatalkan puasa. Ini adalah pendapat madzhab Abu Hanifah, madzhab Maliki, salah satu pendapat madzhab Syafi’i, dan madzhab Ahmad bin Hambal [40].
Dalil mereka:- Mereka mengatakan tetes telinga dan semisalnya membatalkan puasa dengan alasan tetes telinga dapat masuk ke dalam rongga atau otak manusia.
Pendapat kedua. Mereka mengatakan bahwa tetes telinga tidak membatalkan puasa. Ini adalah salah satu pendapat madzhab Syafi’i dan madzhab Ibnu Hazm [41].
Dalil mereka:- Menurut mereka, telinga bukanlah saluran masuknya sesuatu menuju ke rongga manusia,
- Sesuatu yang dimasukkan ke dalam telinga bukan termasuk makanan dan minuman, tidak dapat menggantikan keduanya, dan tidak dapat berfungsi sebagai makanan dan minuman.
Pendapat yang kuat. Pendapat yang kuat ialah tetes telinga tidak membatalkan puasa, karena alasan-alasannya lebih kuat, dan sebenarnya pembahasan tetes telinga tidak jauh dari pembahasan tetes mata. Kalau kita me-rajih-kan (menguatkan) pendapat bahwa tetes mata tidak membatalkan puasa, maka demikian juga tetes telinga lebih layak lagi untuk kita katakan tidak membatalkan puasa (lihat alasan-alasan tentang tetes mata tidak membatalkan puasa).
7. غاز الأوسجين (Oksigen)Dalam hal ini adalah unsur kimia yang diberikan pada orang sakit dan yang membutuhkan udara tambahan. Alat ini tidak mengandung zat-zat yang yang berupa gas atau benda padat, tidak berwarna, dan tidak mempunyai bau, melainkan hanya udara; sehingga tidak berfungsi sebagai pengganti makanan dan minuman, akan tetapi hanya sebagai pendukung pernapasan saja [42].
Hukumnya?Tidak diketahui adanya perbedaan pendapat para ulama tentang masalah ini. Dan tidak dijumpai satu dalil pun yang kuat untuk membatalkan puasa dengan penggunaan alat semacam ini, karena oksigen bukan termasuk makanan dan minuman dan tidak berfungsi sebagai pengganti makanan dan minuman, sehingga alat seperti ini tidak membatalkan puasa [43].
8. التبرّع بالدم (Donor darah)
Yaitu mengeluarkan sebagian darahnya untuk diberikan kepada orang lain yang membutuhkan. Masalah ini belum pernah dibahas oleh para ulama terdahulu. Hanya saja, para ulama kontemporer menyamakan/meng-qiyas-kan donor darah dengan masalah bekam/cantuk (pengobatan dengan cara mengeluarkan sebagian darah kotor), yang keduanya sama-sama mengeluarkan darah. Oleh sebab itu, sebelum menentukan hukum donor darah bagi orang yang berpuasa, perlu dijelaskan hukum bekam bagi orang berpuasa.
Hukum bekam ketika berpuasaPara ulama berbeda pendapat tentang pembekaman, termasuk membatalkan puasa ataukah tidak.
Pendapat pertama. Mereka mengatakan bahwa bekam membatalkan puasa. Ini adalah madzhab Hambali, Ishaq, Ibnul Mundzir, dan mayoritas fuqaha (ahli fikih) [44], dan dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, dan juga Ibnu Utsaimin dalam fatwanya.
Dalil mereka:- Menurut mereka bekam adalah salah satu hal yang dapat membatalkan puasa.
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَادِجٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّي الله عَلَيْهِ وَ سَلََّمْ : أَفْطَرَ الحَاجِمُ وَ المَحْجُوْمُ
Dari Rafi’ bin Khadij radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Berbuka (batal puasa) orang yang membekam dan dibekam.” (HR. Tirmidzi: 774, Ahmad 3/465, Ibnu Khuzaimah: 1964, Ibnu Hibban: 3535; hadits ini telah dishahihkan oleh imam Ahmad, imam Bukhari, Ibnul Madini (lihat al Istidzkar 10/122). Demikian juga al Albani menshahihkannya dalam Irwa’ul Ghalil: 931, Misykatul Mashabih: 2012, dan Shahih Ibnu Khuzaimah: 1983).
Pendapat kedua. Menurut pendapat kedua, bekam tidak membatalkan puasa. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama secara umum, baik dari kalangan ulama salaf (terdahulu), maupun khalaf (ulama masa kini) [45].
Dalil mereka:- Menurut mereka ada sebuah hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam sedangkan beliau sedang dalam keadaan puasa, sebagaimana dalam sebuah hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata:
احْتَجَمَ رَسُوْلُ الله صَلَّي الله عَلَيْهِ وَ سَلََّمْ وَ هُوَ صَائِمٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam sedangkan beliau berpuasa.” (HR. Bukhari:1838,1939, Muslim: 1202).
Pendapat yang kuat. Pendapat yang kuat adalah pendapat kedua, yaitu berbekam tidak membatalkan puasa, dengan alasan dalil yang tersebut di atas; dan dikuatkan oleh beberapa hal di antaranya:
- Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dalam keadaan puasa adalah me-nasakh (menghapus) hadits yang mengatakan batalnya puasa seorang yang berbekam dan yang dibekam. Hal ini dibuktikan bahwa Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu ‘anhu mengatakan:
رَخَّصَ رَسُوْلُ الله صَلَّي الله عَلَيْهِ وَ سَلََّمْ لِاصَّائِمِ فِي الحِجَامَةِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi rukhshah (keringanan) bagi orang yang berpuasa untuk berbekam.” (HR. Nasa-I 3/432, Daruquthni 2/182, Baihaqi 4/264; Daruquthni mengatakan seluruh perawinya terpercaya, dan dishahihkan oleh al Albani dalam Shahih Ibnu Khuzaimah: 1969)
Berkata Ibnu Hazm rahimahullah: “Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘memberi rukhshah’ tidak lain menunjukkan arti larangan sebelum datangnya rukhshah (sehingga asalnya dilarang, lalu diizinkan). Oleh karenanya, benarlah perkataan/pendapat bahwa ini (hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma) me-nasakh hadits yang pertama.” (al Mushalla 6/204)
- Pendapat ini diperkuat dengan adanya hadits-hadits lain yang mengisyaratkan bahwa hadits Rafi’ bin Khadij radhiyallahu ‘anhu dihapus, seperti:
عَنْ ثَابِتٍ البُنَّانِي قَالَ سُئِلَ أَنَسٌ بْنُ مَالِكِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كُنْتُمْ تَكْرَهُوْنَ الحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ عَلَي عَهْدِ رَسُوْلِ الله صَلَّي الله عَلَيْهِ وَ سَلََّمْ؟ قَالَ لاَ إِلَّا مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ
“Dari Tsabit al Bunani beliau berkata: Telah ditanya Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu: “Apakah kalian (para sahabat) di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci bekam bagi orang yang berpuasa?” Beliau menjawab: “Tidak (kami tidak membencinya), kecuali kalau menjadi lemah (karena bekam).” (HR. Bukhari 4/174; lihat Fathul Bari dalam penjelasan hadits ini, dan juga perkataan al Albani rahimahullah yang menguatkan masalah ini dalah Misykatul Mashabih: 2016)
Dari penjelasan di atas, menjadi jelas bahwa donor darah tidak membatalkan puasa, karena di-qiyas-kan kepada masalah bekam menurut pendapat yang kuat adalah tidak membatalkan puasa.
Demikianlah, pembahasan singkat tentang pembatal-pembatal puasa di zaman modern ini. Semoga Allah selalu membimbing kita di atas jalan-Nya yang lurus dan selalu memberikan petunjuk-Nya, sehingga kita dapat menaati-Nya dalam setiap perintah-Nya; demikian juga dalam kewajiban berpuasa, sehingga kita berhak memasuki pintu surga yang bernama ar Rayyan. Amiin.
Keterangan:
[3] Kami hanya menyebutkan beberapa hal saja karena keterbatasan ilmu kami. Mudah-mudahan Allah memudahkan pembahasan ini akan berlanjut di kemudian hari.
[4] Dokter di Rumah Anda hal. 296 pada kolom “Informasi Penting”[5] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 15/265.
[6] Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin 19/209-210.
[7] Fatawa ash Shiyam hal. 49.
[8] Fatawa Islamiyyah 2/131.
[9] At Tibyan wal Ithaf fi Ahkam ash Shiyam wal I’tikaf hal. 115.
[10] Lihat majalah al Majma’ thn. ke-10, juz 2, hal 65,76,364,dan 378.
[11] Sebagaimana telah dilakukan penelitian medis terhadap siwak yang mempunyai delapan unsur bahan kimia yang sangat bermanfaat untuk memelihara gigi, gusi, lidah, dan sebagainya (majalah Majma’ al Fiqhi thn ke-10, juz 2, hal. 259).
[12] Sebagaimana dalam HR. Bukhari dan Fathul Bari 4/158.
[13] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 15/265.
[14] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 15/257.
[15] Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin 19/220-221.
[16] Lihat ad Din al Khalish oleh as Subki 8/457.
[17] Lihat al Fatawa hal. 136.
[18] Lihat at Tibyan wal Ithaf hal. 109.
[19] Lihat majalah al Majma’ thn. ke-10, juz 2, hal. 464.
[20] Lihat Mufaththirat ash Shaum al Mu’ashirah hal. 65.
[21] Perkataan ini dinukil oleh muridnya, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, dalam Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin 19/220-221.
[22] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 15/258.
[23] Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin 19/220-221.
[24] Lihat majalah al Majma’ thn. ke-10, juz 2, hal. 464.
[25] Lihat ad Din al Khalish
[26] Lihat al Fatawa hal. 136.
[27] Fiqhus Sunnah 3/244.
[28] Lihat majalah al Majma’ thn. ke-10, juz 2, hal. 385 dan 399.
[29] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 15/261.
[30] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin 19/206.
[31] Lihat majalah al Majma’ thn. ke-10, juz 2, hal. 81.
[32] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 15/280.
[33] Lihat Fathul Qadir 2/257, dan Majmu’ Syarh al Muhadzdzab 6/315.
[34] Lihat at Taj wal Iklil 3/347, dan al Furu’ 3/46.
[35] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 15/260.
[36] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin 19/206.
[37] Lihat at Tibyan wal Ithaf fi Ahkam ash Shiyam wal I’tikaf hal. 110.
[38] Lihat majalah al Majma’ thn. ke-10, juz 2, hal. 378,381,385,dan 392.
[39] Buah Handhalah rasanya sangat pahit, banyak dipakai untuk bahan obat-obatan. Lantaran sangat pahitnya, buah Handhalah dapat digunakan untuk membersihkan pencernaan (obat urus-urus) hanya dengan menginjaknya beberapa saat sampai dirasa pahitnya di tenggorokan dan pencernaannya, lalu orang yang menginjaknya merasa mual, kemudian keluarlah isi perut saat itu juga; akan tetapi sangat berbahaya bagi wanita hamil, karena bisa mengakibatkan keguguran hanya dengan menginjaknya (Min Fawa’id Syaikh DR. Sami’ as Shaqir hafizhahullah fii Syarh Kitab ash Shiyam min Zad al Mustaqni’)
[40] Lihat Rad al Mukhtar 2/98, 1/204, al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab 6/214, dan Syarh al Umdah oleh Syaikhul Islam 1/387[41] Lihat catatan kaki sebelumnya dan al Muhalla 6/203-204.
[42] Lihat Mufaththirat ash Shiyam al Mu’asyirah 50.
[43] Sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Baz dalam Majmu’ Fatawanya 15/272-273 dan Ibnu Utsaimin dalam Majmu’ Fatawanya 19/212-213.
[44] Lihat al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab 6/349.
[45] Lihat al Fatawa al Hindiyyah 1/199, Bidayatul Mujtahid 1/281, dan al Majmu’ 6/349.
Tulisan ini disadur dari majalah Al Furqon tahun 6 edisi spesial Ramadhan + Syawal 1427H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar