Senin, 28 Maret 2011

RAHASIA DIBALIK SURAT AL A'LAA


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Selama 22 tahun 2 bulan 22 hari Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dengan cara berangsur-angsur. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang artinya : “Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (Al-Qur’an surat Al-Israa’:106)
Surat dalam Al-Qur’an dibagi menjadi dua, yaitu surat makkiyah dan surat madaniyah. Surat makkiyah yaitu surat yang diturunkan dimakkah.Sedangkan surat madaniyah yaitu surat yang diturunkan di madinah. Adapun masing-masing pembagian surat ini memiliki ciri-ciri yang dapat membedakan antara yang satu dengan yang lain.
Sebagian besar surat Makkiyah mempunyai cara penyampaian yang keras dalam konteks pembicaraan karena pada waktu itu orang-orang mayoritas penduduk makkah adalah suku baduwi yang berwatak keras karena pengaruh lingkungannya dan suka menentang pemerintah.Surat Makkiyah itu ayatnya pendek-pendek dan di dalamnya banyak mengandung perdebatan (antara para Rasul dengan kaumnya) sebelum Nabi Muhammad SAW, karena kebanyakan ditujukan kepada orang-orang yang memusuhi dan menentang, sehingga konteks kalimat yang digunakan disesuaikan dengan keadaan mereka.
Sebagian besar surat Makiyah berisi tentang pengokohan tauhid dan akidah yang benar, khususnya berkaitan dengan tauhid uluhiyahkarena pada waktu itu masyarakat makkah berada diujung jurang kesesatan, yaitu tidak mengenal Allah. Saat itu mereka menyembah berhala (patung-patung yang terbuat dari batu dan kayu). Sehingga hal yang pertama kali harus diperbaiki adalah ketauhidan.
1.2 Rumusan masalah
1. Pelajaran apa yang dapat diambil dari surat al-A’laa?
2. Bagaimana asbabun nuzul surat al-A’laa?
3. Apa isi kandungan surat al-A’laa?
1.3 Tujuan penulisan
1. Untuk memperkokoh keimanan para pembaca
2. Menggambarkan lebih detail tentang kandungan surat al-A’laa
1.4 Manfaat penelitian
Tafsir dirasa cukup penting karena ilmu ini sebagai alat bantu dalam menafsirkan Al Quran.Memahami apa yang terkandung dalam ayat al-Qur’an. Sehingga bisa mengetahui apa maksud ayat tersebut, dan mengambil manfaat dari ayatnya.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penulis membatasi penelitian ini hanya pada surat al-A’laa, karena keterbatasan ilmu penulis yang belum mampu mengkaji secara lebih jauh tentang ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung berjuta makna. mengkaji atau mendalami ayat al-Qur’an memerlukan pondasi-pondasi yang nantinya bisa mengendalikan dan menghindari adanya kesalahan dalam mengartikan, menafsirkan dan memaknai ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga penulis hanya mengupas sedikit tentang surat al-A’laa dan isi kandungannya.
1.6 Batasan Istilah
Dalam penelitian ini hanya membahas tentang ketauhidan yang terkandung dalam surat al-A’laa. Mengupas peristiwa-peristiwa yang terjadi didalamnya.Menelaah kembali maksud dari ayat-ayatnya, tujuan diturunkannya ayat, dan pesan yang terkandung didalamnya.
1.7 Kerangka Teori
• Mengumpulkan beberapa tafsir al-qur’an sebagai bahan penelitian.
• Memahami tafsir-tafsir tersebut untuk mengambil isinya.
• Merumuskan masalah.
• Menggolongkan ayat-ayat dan menafsirkannya.
• Membahas dalam pembahasan.






BAB II
DESKRIPSI ISI PESAN
2.1 Tabel
No Isi pesan Indicator Tafsir ayat al-Aqur’an Interpretasi penafsiran penulis
1 Penyucian terhadap Dzat Allah dan pengagungan kepada-Nya Memahami dan mengerti tentang penyucian dzat Allah SWT. سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ
(sucikanlah nama Tuahnmu) maksudnya sucikanlah Dia dari sifat yang tidak layak bagi-Nya; lafaz ismu adalah lafaz za’id
الْأَعْلَى
(Yang Maha Tinggi) lafaz al-a’laa berkedudukan sebagai kata sifat bagi Rabbika.
Sucikanklah nama Tuhanmu dari segala sesuatu yang tidak pantas bagi-Nya. Maksudnya sebutlah nama Allah dengan penuh keagungan dan kebesaran serta sucikanlah dari segala sesuatu yang tidak pantas bagi-Nya.
2 Allah yang menciptakan dan menyempurnakan ciptaan-Nya. Mengagungkan Allah dengan melihat ciptaan-Nya الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى
(Yang menciptakan lalu menyempurnakan) ciptaan-Nya, yakni Dia menjadikan makhluk-Nya itu seimbang semua bagiannya dan tidak pincang atau berbeda-beda.
Dia yang menciptakan makhluk-makhluk dan menyempurnakan ciptaan-Nya dengan bentuk yang paling sempurna serta membekali semua kebutuhan-kebutuhannya dalam kelangsungan hidupnya.
3 Allah yang menentukan taqdir seseorang dan memberi petunjuk (untuk menuju taqdirnya) Mengetahui tentang taqdir dan tanda-tanda orang yang mendapat petunjuk. وَالَّذِي قَدَّرَ
(Dan yang menentukan) apa yang dikehendaki-Nya
فَهَدَى
(dan yang memberi petunjuk) kepada apa yang telah ditentukan-Nya berupa amal kebaikan dan amal keburukan. Menaqdirkan sesuatu yang dikehendaki-Nya kemudian memberi petunjuk kepadanya untuk meraih taqdir yang sudah ditetapkan oleh allah atasnya.
4 Allah yang menumbuhkan rerumputan (tumbuh-tumbuhan) Menganalisa kesempurnaan penciptaan-Nya terhadap tumbuh-tumbuhan. وَالَّذِي أَخْرَجَ الْمَرْعَى
(Dan Yang mengeluarkan rumput-rumputan) atau Yang menumbuhkan rumput-rumputan.
Dan yang menumbuhkan rerumputan (tumbuh-tumbuhan hijau dan rumput-rumputan)
5 Allah menjadikan tumbuh-tumbuhan itu kering dan berubah menjadi kehitam-hitaman Mengerti dan memahami proses yang terjadi pada tumbuh-tumbuhan. فَجَعَلَهُ
(lalu dijadikan-Nya) sesudah rumput-rumputan itu hijau
غُثَاءً (kering) yaitu menjadi layu dan kering
أَحْوَى (kehitam-hitaman) kehitam-hitaman karena kering Dia menjadikan rerumputan itu kering dan kehitam-hitaman (warnanya karena kering)
6 Muhammad SAW tidak akan pernah melupakan Al-Qur’an tanpa seizin Allah Muhammad SAW tidak akan lupa dengan al-Qur’an. سَنُقْرِؤُكَ
(kami akan membacakan kepadamu) Al-Qur’an
فَلَا تَنسَى (maka kamu tidak akan lupa) apa yang kamu bacakan itu.
Engkau (Muhammad) tidak akan lupa dengan apa yang telah dibacakan (Al-Qur’an) kepadamu tanpa seizin Kami.
7 Allah mengetahui sesuatu yang terang dan tersembunyi serta sesuatu yang berada diantara keduanya Muhammad SAW إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ
(kecuali kalau Allah menghendaki) kamu melupakannya karena bacaan dan hukumnya telah di mansukh. Sesungguhnya Nabi SAW selalu mengeraskan suara bacaanya mengikuti bacaan Malaikat Jibril karena takut lupa. Seolah-olah dikatakan kepadanya: “janganlah kamu tergesa-gesa membacanya, karena sesungguhnya kamu tidak akan lupa. Karena itu janganlah kamu merepotkan dirimu dengan mengeraskan suaramu sewaktu kamu membacakannya “.
إِنَّهُ (Sesungguhnya Dia) yakni Allah SWT.
يَعْلَمُ الْجَهْرَ (mengetahui yang terang) maksudnya perkataan dan perbuatan yang terang-terangan
وَمَا يَخْفَى (dan yang tersembunyi) dari keduanya
Kecuali kalau Allah menghendaki (Muhammad melupakan Al-Qur’an). Sesungguhnya Dia (Allah) mengetahui sesuatu (perbuatan) yang terang dan yang tersembunyi.
8 Allah menunjukkan jalan yang mudah berupa agama islam. Umat manusia وَنُيَسِّرُكَ لِلْيُسْرَى
(Dan kami akan memudahkan kamu untuk menempuh jalan yang mudah) yakni syari’at yang mudah, yaitu agama islam.
Dan kami mudahkan untukmu jalan yang mudah yakni agama islam.
9 Allah memberi peringatan kepada manusia dengan Al-Qur’an Umat manusia فَذَكِّرْ
(oleh sebab itu, berikanlah peringatan) dengan Al-qur’an
إِن نَّفَعَتِ الذِّكْرَى (karena peringatan itu bermanfaat) maksudnya memberikan peringatan dengan hal-hal yang telah disebutkan pada firman-Nya: “sayazzakkaru”, sekalipun peringatan itu tidak bermanfaat bagi sebagian diantara mereka, tetapi peringatan itu pasti bermanfaat bagi sebagian yang lain. Oleh sebab itu berilah peringatan (Al-Qur’an) karena peringatan itu bermanfaat (pada sebagian orang-orang)
10 Peringatan kepada orang-orang yang takut Allah yang didasari keyakinan akan keagungan Allah SWT. Orang-orang yang takut kepada Allah SWT. سَيَذَّكَّرُ
(akan mendapat peringatan) dan pelajaran dari peringatan itu
مَن يَخْشَى (orang yang takut) kepada Allah SWT., sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain, yaitu dalam Q.S.Qaf:45. Orang-orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran (orang yang takut karena keagungan Allah SWT).
11 Orang kafir akan celaka karena mengabaikan peringatan (Al-Qur’an) Orang kafir وَيَتَجَنَّبُهَا
(akan menjauhinya) yakni peringatan itu akan ditinggalkan dan diabaikan begitu saja
الْأَشْقَى (orang yang celaka) yakni orang yang kafir. Orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya (peeringatan yang telah diberikan kepada mereka).
12 Orang kafir akan dimasukkan kedalam neraka sebagai balasannya. Orang kafir الَّذِي يَصْلَى النَّارَ الْكُبْرَى
(yaitu orang yang akan memasuki api yang besar) yaitu api neraka ;dan api dunia dinamakan api kecil. Yaitu orang yang akan memasuki api yang besar (neraka jahanam)
13 Orang kafir tidak mati dan tidak hidup di dalam neraka. Orang kafir ثُمَّ لَا يَمُوتُ فِيهَا
(kemudian dia tidak mati didalamnya) hingga dia dapat beristirahat
وَلَا يَحْيَى (dan tidak pula hidup) dengan kehidupan yang menyenangkan. Dan dia tidak mati didalamnya (neraka) dan tidak pula hidup (dineraka)
14 Orang-orang yang beriman beruntung Orang-orang yang beriman قَدْ أَفْلَحَ
(sesungguhnya beruntunglah) atau mendapat keberuntungan
مَن تَزَكَّى (orang yang membersihkan diri) dengan cara beriman. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang membersihkan diri (orang yang beriman)
15 Orang beriman ingat Tuhan-Nya kemudian shalat Orang yang beriman وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ
(Dan dia ingat nama Tuhannya) seraya mengagungkan-Nya
فَصَلَّى (lalu dia shalat) maksudnya mengerjakan shalat lima waktu, hal ini merupakan perkara akhirat; tetapi orang-orang kafir mekkah berpaling daripadanya. Dan dia (orang yang beriman) ingat Tuhannya lalu mengerjakan shalat.
16 Orang kafir memilih kehidupan dunia daripada akhiratnya Orang kafir بَلْ تُؤْثِرُونَ
(tetapi kamu sekalian lebih memilih) dapat dibaca ta’ dan ya’
الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (kehidupan duniawi) daripada kehidupan ukhrawi. Tetapi kamu sekalian lebih memilih kehidupan duniawi (lebih mementingkan kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat)
17 Bahwa kehidupan akhirat itu lebih kekal daripada dunia. Orang beriman dan orang kafir وَالْآخِرَةُ
(sedangkan kehidupan akhirat) yang didalamnya terdapat surga
خَيْرٌ وَأَبْقَى (adalah lebih baik dan lebih kekal).
Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal (yang didalamnya terdapat surga dan neraka).
18 Hal ini sudah diterangkan dalam kitab-kitab terdahulu Orang yang beriman إِنَّ هَذَا
(sesungguhnya ini) maksudnya beruntungnya orang-orang yang membersihkan dirinya dengan beriman dan bahwa kehidupan akhirat itu lebih baik
لَفِي الصُّحُفِ الْأُولَى (benar-benar terdapat dalam kitab-kitab terdahulu) yang diturunkan sebelum Al-Qur’an. Sesungguhnya ini (beruntungnya orang-orang yang beriman) benar-benar terdapat pada kitab-kitab terdahulu (sebelum Al-Qur’an.
19 Diterangkan dalam suhuf Ibrahim dan suhuf Musa Orang-orang beriman dan orang-orang kafir صُحُفِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى
(yaitu kitab-kitab Ibrahim dan Musa) sepuluh suhuf bagi ibrahim, dan satu suhuf bagi Musa. Yaitu suhuf Ibrahim dan suhuf Musa (taurat).









BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Makna ayat 1-13
Firman-Nya, “Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tinggi” ayat ini sebagai perintah dari Allah kepada rasul-Nya, Muhammad SAW, dan juga umatnya yang juga diperintahkan untuk menyucikan nama Tuhannya agar tidak menyebut-Nya dengan nama lain, menyebut-Nya ketika berada ditempat yang kotor atau menyebut-Nya tanpa rasa hormat. “Al-A’laa” adalah sifat Allah yang menunjukkan ketinggian-Nya, berada diatas seluruh makhluk-Nya, dan seluruh makhluk berada di bawah-Nya.Allah-lah yang menguasai dan menghukuminya, yang menciptakan dan menyempurnakan (tubuhnya). Maksudnya dari tidak ada menjadi ada, kemudian menyempurnakan ciptaan-Nya sehingga setiap makhluk sesuai dengan postur tubuhnya, yaitu menyempurnakan dan menyelaraskan bagian-bbagiann tubuhnya, sehingga tidak ada yang bertentangan, “dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan member petunjuk,” maksudnya Allah telah menaqdirkan segala sesuatu di dalam kitab taqdir, taqdir baik maupun taqdir buruk.
Kemudian Allah-lah yang memberi petunjuk kepada setiap makhluk untuk menuju taqdirnya masing-masing.akhirnya ai hanya mendapatkan sesuatu sesuai dengan taqdir, tempat, waktu, dan gambarannya yang telah tertulisdalam taqdirnya tersebut, “dan yangn menumbuhkan rumput-rumputan,” yaitu tempat digembalakannya hewan ternak. Seperti rerumputan, alang-alang, dan semak belukar. “lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman,” maksudnya Allah menjadikan kering kehitam-hitaman padahal sebelumnya hijau. Inilah kelima ayat tersebut. Ayat pertama berisi perintah untuk menyucikan Allah dan empat ayat lainnya menerangkan tentang Allah sehingga semua manusia mau mengagungkan nama Allah, Dzat-Nya, dan menyucikan-Nya dari sekutu, istri, dan anak.
Allah Ta’ala berfirman, “Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad), maka kamu tidak akan lupa,”inilah janji Allah kepada Rasul-nya, kenapa dijanjikan seperti ini?sebabnya yaitu ketika Rasulullah shallallahu Alaihi Wasallamsering di datangi malaikat jibril dengan membawa ayat yang banyak, beliau merasa takut kalau ayat-ayat tersebut akan terlupakan. Akhirnya beliaupun mempercepat bacaanya sebelum malaikat jibril selesai membacakanya.Akhirnya terjadilah sesuatu yang sangat berat pada diri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Maka Allahta’alamanenangkan Rasul-nya dengan menjanjikan kapadanya bahwa beliau tidak akan lupa dengan ayat-ayat yang di bacakan oleh malaikat jibril kepadanya, kecuali kalau Allah menghendaki,”Seandainya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam merasa lupa dengan sebagian ayat, maka hal ini terjadi karena adahikmah yang Allah kehendaki dalam kasus ini . Rasulullah shalallahu alaiwi wa sallam pernah lupa. akan tetapi, hal tersebut terjadi karena Allah ta’ala ingin menghapus sebagian firman-Nya. Allahta’ala berfirman, “sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi,”ayat ini membuktikan akan kemampuan Allah untuk menjaga rasul-Nya, yaitu dengan menjaga al Qur’an dan beliau tidak akan melupakannya. arti dari ayat,“ya’lamul jahro wamaa yakhfaa” yaitu Allah mengetahui segala yang tampak, seperti bacaan atau pembicaraan dan mengetahui pula apa yang disembunyikan. adapun seorang hamba tidak bisa mengetahui segala sesuatu yang disembunyikan atau ditampakkan.
firman-Nya,”Dan kami akan member kamu taufik ke jalan yang mudah” yaitu untuk menadapatkan jalan mudah yang bebes dari kesulitan, yaitu syariat islam tidak akan menyusahkan (tidak ada hal yang susah di dalam agama islam ),”Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” Allah Ta’ala berfirman, “oleh sebab itu berilah peringatan karena peringatan itu bermanfaat,” yaitu terhadap orang-orang yang telah kami berikan keimanan kepada mereka atau tidak bermanfaat sama sekali. Rasulullah shallallahu alaihi Wasallam hanya diperintahkan untuk menyampaikan saja.Maka beliau pun telah menyampaikan dan mengingatkanya kepada orang kafir dan orang mukmin.adapun setelah itu, maka hal tersabut tergantung kapada Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman, “Orang yang takut (kepada allah) akan mendapat pelajaran,” maksudnya akan mengingatkan dan menjadi ancaman terhadap orang-orang yang takut terhadap azab Allah di karenakan keimanan dan ilmu yang mereka miliki. “Dan orang-orang menjauhinya,” maksudnya mereka akan menjauhiperingatan ,”yang celaka,” yaitu orang yang palin celaka dari kedua kelompok tersebut, yaitu kelompok yang mengingat Allah dan kelompok yang tidak mengingat-Nya. “(yaitu)orang yang akan memasuki api yang besar(neraka),yaitu masuk kedalam api yang besar, api neraka pad ahari kiamat kelak.”kemudian dia tidak akan mati di dalamnya,” dikarenakan kerasnya azab, sehingga mereka tidak bisa beristirahat, “Dan tidak (pula) hidup , “Dan tidak (pula) hidup,” tidak bisa hidup tenang dan bahagia, karena kesengsaraan selalu menyelimuti mereka.Inilah nasib para penduduk neraka.
Kami berlindung kepada Allah dari nasib yang di alami penduduk neraka.
3.2 Pelajaran yang dapat diambil dari ayat 1-13
1. Kewajiban menyucikan dan mengagungkan nama Allah dari segala sesuatu yang tidak layak untuk-Nya sebagaimana wajibnya untuk menyucikan Dzat Allah dari segala sifat yang tidak layak dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya.
2. Disyari’atkan untuk mengucapkan “subhaana Rabbiyal A’alaa” ketika membaca ayat “sabbihisma rabbikal a’ala”.
3. Kewajiban untuk menyucikan Allah ketika sujud, yaitu dengan mengucapkan “subhaana rabbiyal a’ala” sebanyak tiga kali atau lebih.
4. Disyari’atkan membaca surat ini pada raka’at pertama shalat witir.
5. Surat yang paling dicintai oleh Rasulullah SAW adalah surat Al-A’la, karena surat ini adalah surat yang berasal dari Tuhannya yang membawa dua kabar gembirayang sangat besar. Pertama bahwa Allah akan memudahkan (beliau) kepada jalan yang mudahsehingga setiap kali beliau diberi dua pilihan, maka beliau akann memiilih yang paling mudah. Kedua bahwa Allah akan menjaganya dari sifat lupa. Maksudnya Allah akan menjadikannya tidak cepat lupa. Oleh karena itu beliau sering membaca surat ini ketika shalat berjamaah, shalat hari raya, dan dalam shalat witir setia[ malamnya.

3.3 Makna Ayat 14-19
Firma-Nya, “sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman) Allah Ta’ala telah memberitahukan dengan keberuntungan seorang hamba beriman yang membersihkan dirinya. Yaitu yang telah menyucikan dirinya dengan keimanan dan amal shalih,kemudian mengingat nama tuhanya pada setiap saat. Seperti ketika bangun tidur, sebelum dan setelah shalat, ketika makan, minum dan berpakaian yang tidak pernah lapas mengingat allah. Termasuk didalamnya ketika melaksanakan shalat lima waktu dan shalat-shalat sunnah.
Arti kata “al-fallaahu” adalah beruntung atau selamat dari sesuatu yang ditakutidan menang dengan mendapatkan sesuatu yang diinginkan dan dicintai. Adapun maksud dari“al-falaah” dalam ayat ini adalah selamat dari api neraka dan masuk kedalam surga, sebagaimana yang tercantum didalam surat Ali imron, “barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan kedalam surge, mak sungguh ia telah beruntung,dan juga di dalam firman-Nya, “Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi,wahai manusia, sesungguhnya kalian lebih mengutamakan kehidupan dunia dari pada kehidupan akhirat, sehingga kalian beramal (mati-matian) untuk mendapatkan dunia dan sebaliknya kalian melupakan akhirat dan tidak beramal sedikit pun untuk akhiratmu. Inilah tabiatmu, wahai manusia, kecuali oarng yang mengingat Allah kemudian setelah beriman, ia mengerjakan shalat dan mendapatkan petunjukbahwa kehiduupan akhirat lebih baik dan lebih kekal dari pada kehidupan dunia.
Ada seorang bijak mengatakan, seandainya dunia dibuat dari emas, sedangkan akhirat dibuat tembikar,”maka orang yang berakal pasti akan memilih sesuatu yang kekeal dari pada memilih sesuatu yang akan hilang. Karena dunia akan segera hilang, sedangkan akhirat aka nada selamanya (kekal).
Firman-Nya, “Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (yaitu) kitab-kitab Ibrahim dan musa,” maksudnya yaitu bahwa firman Allah Ta’alayang berbunyi,”sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman,”sampai dengan firman-Nya,”lebih baik dan lebih kekal,”telah di sebutkan didalam shuhuf Ibrahim yang terdiri dari sepuluh shuhuf dan didalam kitab Nabi Musa, Yaitu didalam kitab Taurat.
3.4 Pelajaran yang dapat diambil dari ayat 14-19
1. Anjuran untuk mengeluarkan zakat, berdzikir, dan shalat. semua ini bisa dilaksanakan oleh seorang muslim (sekaligus) ketika idul fitri. Karena ia akan mengeluarkan zakat fitrah, kemudian dating ke masjid untuk bertakbir (berdzikir), kemudian ia melaksanakan shalat (shalat idul fitri). Sebagian ulama’ menyangka bahwa ayat ini diturunkan berkenaaan dengan idul fitri.
2. Perintah untuk zuhud di dunia dan selalu mengharap akhirat, karena dunia akan segera hancur dan akhirat akan kekal selamanya.
3. Kandungan semua kitab samawai adalah sama. Hal ini menunjukkan bahwa semua kitab tersebut benar-benar datang dari Allah dan telah Allah turunkan kepada para rasul-Nya.

3.5 Asbabun nuzul surat al-A’la
Imam tabrani telah mengetengahkan sebuah hadis melalui Ibnu Abbas r.a. yang telah menceritakan bahwa Nabi SAW. apabila kedatangan malaikat jibril membawa wahyu, maka sebelum malaikat jibril selesai menyampaikan wahyu-Nya Nabi SAW. telah mulai membacanya dari awal karena khawatir lupa. Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Kami akan membacakan (al-Qur’an) kepadamu (Muhammad), maka kamu tidak akan lupa”. (Q.S.al-A’la:6)
Didalam sanad hadis ini terapat Juwaibir yang dikenal sebagai perawi yang amat daif atau lemah.











BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari data diatas bisa diambil kesimpulan bahwa, surat al-A’laa merupakan sebuah surat yang berisi tentang pengagungan dan penyucian kepada Allah SWT, peringatan kepada umat manusia bahwa setiap orang sudah memiliki taqdir masing-masing, dan Allah akan menunjukkan kepada manusia sesuai dengan taqdir yang telah ditetapkan oleh Allah atasnya. Disamping itu, orang-orang yang mengabaikan peringatan Allah yakni berupa al-Qur’an akan dimasukkan kedalam neraka sebagai balasannya dan orang-orang yang menyucikan diri dengan beriman, maka merekalah orang-orang yang beruntung dan akan dimasukkan kedalam surga-Nya.
Surat al-A’laa juga mengandung anjuran untuk melakukan zakat, dzikir, dan shalat.seseorang bisa melakukan ketiga perbuatan tersebut secara berurutan. Yakni ketika pada bulan Ramadhan sudah habis, maka orang muslim diwajibkan membayar zakat fitrah sebelum melakukan dzikir (membaca takbir) dimasjid dan kemudian dilanjutkan dengan melakukan shalat Idul fitri berjamaah. Zuhud juga merupakan perintah yang terdapat didalam surat al-A’laa. Zuhud adalah perbuatan mementingkan kepentingan akhirat daripada kepentingan dunia karena kepentingan akhirat dinilai lebih kekal daripada kepentingan dunia. Urusan dunia hanyalah sementara dan akan rusak.












DAFTAR PUSTAKA

Noer, Azhari, Kautsar;2002, Isyarat Illahi, Tafsir Juz ‘amma Ibn Arabi,Iman dan Hikmah. Mampang Prapatan-Jakarta.
Syaikh Abu Bakar Al-jazairi; 2009, Tasir Al qur’an Al-Asar, jilid 7, Darus Sunnah Press. Jati Negara.
Imam Jalaluddin Al-Manalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti; 2009, Tafsir Jalalain, berikut Asbabun Nuzul, jilid2, Sinar Baru Al-Gen.sindo Bandung.
Muhammad Al-Hifnawi dan Muhammad Hamid Utman; 2009, Al-Qurtubi Juz ‘amma, Pustaka Azzam. Jakarta Selatan.
Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimun; 2010,Tafsir Juz ‘amma, Pustaka Al-Tibyan.
LaporanPenelitian
TafsirSurat Al-A’laa
DibuatSebagaiTugasUjianAkhir Semester GanjilBahasa Indonesia
DosenPengampu :
Dra.Hj.SitiAnnijahtMaimun, M.Pd






Disusunoleh :
Erfan Ma’ruf (10110015)
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Tarbiyah
Universitas Islam NegeriMaulana Malik Ibrahim Malang
Tahun 2010/2011

SURAH AL-A’LA
"YANG MAHA TINGGI"
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى
1. Sucikanlah Nama Tuhanmu, Yang Mahatinggi,
Sabbaha adalah 'memuji atau menyucikan' Tuhan. Kata tersebut berkaitan dengan sabaha, yang berarti 'berenang, mengalir dengan, mengapung'. Ketundukkan adalah keadaan muslim, yakni keadaan berserah diri kepada Tuhan yang meliputi segala sesuatu. Semakin dia tunduk, semakin dia bergetar dengan energi-energi yang harmonis. Ayat ini berkenaan dengan 'Nama Tuhan', yang menunjukkan hakikat Tuhan kita yang tinggi, Entitas yang telah menciptakan kita. Segala sesuatu yang ada berpartisipasi dalam pengagungan yang mengalir bebas dan menggemakan esensi-Nya. Segala sesuatu berasal dari Sang Hakikat, dan menggemakan Realitas Tunggal.
Kata Rabb (Tuhan) menunjukkan Atribut Allah, Atribut Rububiyyah (Ketuhanan). Ini adalah suatu realitas yang permanen. Setiap orang berada dalam tasbih (pengagungan/penyucian) kepada Allah, karena hanya ada cinta, dan kecintaan yang utama adalah bertasbih kepada Allah. Itulah keterhubungan yang sangat sempurna. Penciptaan primordial ini termaktub dalam Kitab, Kitab paling awal dari mana semua penciptaan berasal—yakni dari naskah Ibra-him dan Musa.
Kata al-‘Alaa adalah sifat Allah yang menunjukkan ketinggian-Nya, berada diatas seluruh makhluk-Nya,dan seluruh makhluk berada dibawah-Nya.
الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى
2. Yang menciptakan, lalu menyempurnakan.
Allah telah menciptakan kemudian menyempurnakan ciptaan-Nya sehingga setiap makhluk sesuai dengan postur tubuhnya, yaitu menyempurnakan dan menyelaraskan bagian-bagian tubuhnya, sehingga tidak ada yang bertentangan, dan membekali ciptaannya dengan semua kebutuhan untuk mencapai takdir yang diharapkan, yakni memuliakan dan tunduk kepada Sang Pencipta. Manusia memulai pengagungan Tuhannya dengan mengamati disertai perasaan kagum terhadap berbagai hal yang secara serta-merta mengelilinginya. Ia memulai pengagungan dengan membenamkan diri dalam keagungan jalal (kemuliaan) dan jamal (keindahan) yang terakhir, dengan melihat pada keagungan yang mengelilinginya sampai taraf dimana dandanan individualnya dan lingkungan kulturnya memungkinkan dia untuk memahami.
وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَى
3. Dan Yang membuat [semua yang ada] sesuai dengan ukuran, lalu menunjuki [mereka pada tujuan mereka].
Segala sesuatu ada sesuai dengan ukuran dan keseimbangannya. Pengetahuan tentang ukuran itu merupakan awal dari hidayah (petunjuk). Ketika kita mengamati ciptaan fisik di sekeliling kita, kita melihat bahwa ia berada dalam suatu keseimbangan yang njlimet, bahwa keesaan (tauhid) menyatukannya, dan bahwa segala sesuatu saling berhubungan, hidup dengan, tumbuh karena dan memberi kepada, segala sesuatu yang lain. Ada tempat untuk semua orang. Itulah mengapa kita mengatakan, jangan khawatir akan perbekalanmu, juga anak-anakmu. Ada tempat untuk semua orang dalam penciptaan ini.
Hidayah datang melalui pengetahuan tentang qadr (takdir ilahi). Jika kita memiliki pengetahuan tentang takdir itu, maka kita memiliki pengetahuan tentang hukum yang mengatur penciptaan. Kita telah dibimbing ke dalam pengetahuan itu oleh esensi kita, dari sejak permulaan dan sebelum penciptaan.
وَالَّذِي أَخْرَجَ الْمَرْعَى
4. Yang menumbuhkan rerumputan.
Maksudnya adalah an-nabaat wal kalaa’ al-akhdhar (tumbuhan dan rerumputan yang hijau). Mar'a berarti 'padang rumput'. Bahkan perhiasan bumi pun bertasbih, dan itulah sebabnya mengapa padang rumput tumbuh dalam siklus musiman. Dari satu musim ke musim berikutnya, rerumputan berubah dari padang rumput yang hijau dan hidup menjadi jerami yang kering dan berdebu, namun pada setiap fase siklusnya didasarkan pada tasbih.
فَجَعَلَهُ غُثَاءً أَحْوَى
5. Lalu menjadikannya kering kehitam-hitaman.

سَنُقْرِؤُكَ فَلَا تَنسَى
6. Kami akan membacakan kepada engkau agar engkau tidak akan lupa.
Pengetahuan tentang realitas merupakan maqam yang tinggi; maqam ini tidak mengakui dominasi dari setiap kesadaran yang rendah. Pengetahuan tentang Wujud bersifat abadi karena Wujud itu tak pernah berakhir. Begitu kita tahu, kita tidak akan lupa.
Ketika kita berjalan terus, mengalami pembukaan-pembukaan batin, adakalanya kita merasa cemas dan takut. Ketika wahyu menyeru Nabi, wahyu itu juga menyeru semua orang yang mengikuti beliau. Kita diyakinkan di sini bahwa tidak ada kelalaian. Kelalaian muncul bila ada ghaflah (ketidakperdulian), dan ghaflah muncul bila tidak ada khasyyah (perasaan takut melanggar). Hal yang terpenting adalah ingat, yakni, ingat terhadap apa yang sudah ada di sini untuk diingat. Bagaimana mungkin kita bisa lalai atau tidak perduli terhadap apa yang sudah ada di sini? Jika ada kelalaian, maka itu hanya sekadar di permukaan saja dan bukan hakikatnya. Akhirnya, kita harus mencamkan apa yang berguna dan perlu. Pengetahuan sudah ada di sini, dan pada saatnya, dengan cara yang tepat di tempat yang tepat, akan diungkapkan.
إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ إِنَّهُ يَعْلَمُ الْجَهْرَ وَمَا يَخْفَى
7. Kecuali apa yang dikehendaki Allah. Sesungguhnya Dia mengetahui apa yang nampak dan apa yang tersembunyi.
Nampaknya yang terlupakan adalah kehendak Allah, dan bagaimana sampai bisa melalaikan kehendak Allah? Yang ada hanyalah Allah, jadi kelalaian adalah ketidaksadaran. Allah mengetahui semua manifestasi, yang nampak dan yang tersembunyi, apa yang nampak sebagai pengetahuan, dan apa yang tidak.
وَنُيَسِّرُكَ لِلْيُسْرَى
8. Dan kami akan melancarkan jalanmu ke arah kemudahan.
Kami akan menempatkan manusia pada jalan kemudahan. Yusra yang berarti 'kemakmuran', berasal dari yasara yang berarti 'menjadi mudah'. Ini adalah huda (petunjuk). Jalan kemudahan adalah jalan tanpa hambatan, jalan ketundukkan, dan di atasnya manusia akan menemukan kemudahan pengetahuan. Kesalahan manusia sendirilah jika ia menempatkan dirinya dalam kerugian.
فَذَكِّرْ إِن نَّفَعَتِ الذِّكْرَى
9. Maka berilah peringatan, sesungguhnya peringatan itu berguna.
Dengan cara sama yang dilakukan Rabb (Tuhan) pada seluruh ciptaan-Nya, padang rumput termasuk hal yang ingin manusia ketahui. Itulah tanah penggembalaan kita. Ayat ini mengatakan, "Beri mereka peringatan, karena peringatan itu akan berguna atau menguntungkan mereka." Orang yang memperingatkan mereka juga ingin melihat hasilnya. Dia menginginkan konfirmasi lahiriah karena memang sifat manusia untuk ingin melihat niatnya tercermin dalam tindakan lahiriah. Dia ingin melihat bahwa keimanan ada hasilnya, bahwa orang-orang bertindak berdasarkan keyakinan mereka dan menghidupkan keimanannya secara total.
Adakalanya, memang manusiawi, para nabi muncul seakan-akan mereka dalam kesangsian dan keraguan. Ini karena mereka tidak hidup dalam teori. Para nabi telah datang demi kita untuk berhubungan dengan kita, dan kita semua dapat berhubungan dengan kelemahan moril manusia. Oleh karena itu, adakalanya diberikan peneguhan hati lagi.
سَيَذَّكَّرُ مَن يَخْشَى
10. Orang yang takut akan penuh perhatian.
Orang yang khasyyah (takut melanggar) dan takut membesarkan api yang menghanguskannya, adalah orang yang akan ingat.
وَيَتَجَنَّبُهَا الْأَشْقَى
11. Dan orang yang paling celaka akan menghindari itu.
Orang Asyqa (orang yang penuh kesukaran, yang nasibnya sial, hancur, dalam kesengsaraan dan penderitaan) tidak akan mengacuhkan peringatan dan tidak juga akan ingat, sehingga akan dibuat lebih menderita lagi.
الَّذِي يَصْلَى النَّارَ الْكُبْرَى
12. Ia akan dilemparkan ke dalam api yang besar.
Maksudnya, karena kebodohan dan ketidakperduliannya pada saat sekarang maka ia membesarkan api yang kecil. Jika ada 'api besar', maka api kecil mesti juga ada, dan orang yang sedang mengalami siksaan batin berada di dalam api kecil itu. Dinamakan api besar karena ia tidak berakhir, tidak terukur, abadi, dan bergejolak secara permanen. Maka maksud ayat ini adalah bahwa orang yang sekarang tidak takut melanggar (khasyyah), yang tidak bertasbih dan tidak sedang menempuh jalan hidayah, berarti ia sedang menciptakan, memperbesar, dan menyiapkan api besar.
ثُمَّ لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيَى
13. Lalu ia di sana tidak akan mati juga tidak akan hidup.
Artinya, hidup dan mati tak pemah pasti dalam neraka. Ia merupakan dimensi tingkat menengah yang samar-samar, padahal bagaimana pun juga manusia menginginkan kepastian dan kejelasan.
قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّى
14. Sungguh beruntung orang yang menyucikan dirinya.
Orang yang sudah mengetahui, yang secara lahiriah sudah membayar zakatnya dengan teratur sehingga tumbuh dalam kesucian, akan menjadi orang yang menang, dan akan menuai panen yang baik yang sebelumnya telah rajin ditanami oleh kesuciannya. Orang yang telah menempuh jalan keluasan dan peningkatan yang terus-menerus adalah orang yang telah menanam hal yang tepat pada saat yang tepat. Falah (keberhasilan) berbicara tentang orang yang mengolah bumi, membajak dan memanennya. Fallah dari akar kata yang sama, berarti 'petani'. Jika ia tidak mengerjakan ini, maka tidak akan ada yang muncul dari bumi. Ia harus membelah dan mengerjakannya. Orang yang telah menyucikan batinnya yang paling dalam adalah orang yang telah menang. Ia berada di jalan petunjuk.
وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى
15. Dan ingat akan Nama Tuhannya, lalu salat.
Nama adalah suatu indikasi. la mengingat Nama itu, yakni rambu-rambu dari dalam batin yang menunjukinya perbedaan sehingga dapat melihat dengan jelas kemana ia akan masuk lebih jauh ke dalam kerugian, kemana ia akan lebih terikat, lebih tersambung, lebih takut, lebih gelisah. Dengan mengingat Nama Tuhannya—berzikir—ia dapat menghindari penyebab kerugiannya. Dengan demikian ia telah menemukan arah. Dengan mengetahui hal yang tidak benar, ia dapat berjalan ke arah yang benar.
بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
16. Tetapi tidak! Engkau lebih suka pada kehidupan dunia ini!
وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
17. Meskipun kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.
Sebagai manusia yang selalu memerlukan tubuh, kita semua menginginkan keselamatan di dunia ini, maka kita lebih suka pada kehidupan ini ketimbang kehidupan mendatang. Kehidupan ini adalah kehidupan yang mudah, jalan pintas. Namun, kemudahan di sini berarti kesulitan dalam jangka panjang.
إِنَّ هَذَا لَفِي الصُّحُفِ الْأُولَى
18. Sesungguhnya ini sudah tersebut dalam kitab suci yang terdahulu.
صُحُفِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى
19. Kitab sucinya Ibrahim dan Musa.
Pengetahuan ini, kitab yang kita baca sebagai hasil pengagungan Tuhan, sebagai akibat dari menempatkan diri kita dalam satu-satunya aliran dan mengetahui aliran ini, adalah pengetahuan lama yang diungkapkan oleh para nabi terdahulu.[]

IMAM HANAFI

KATA PENGANTAR
Bismillahir rohmanir rohim
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah Swt. Atas limpahan rahmat, taufiq dan hidayah serta inayahnya, makalah ini dapat terselesaikan. Semoga rahmat serta salam tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah berhasil merubah kehidupan dari jahiliah untuk diwujudkan sebagai manusia hakiki yakni manusia yang mengenal Tuhan melalui tuntutan syariat islam. Karya ini dapat kami selesaikan tentunya tidak lepas dari dukungan-dukungan dan bantuan, baik moril maupun sepirituil dari berbagai pihak yang terkait. Oleh karena itu kami ucapkan terimakasih kepada:
1. Bpk Amin Prasojo ,S.Ag dosen mata kuliah STUDI FIQH
2. Ibu Bapak kami yang senantiasa mendukung kami dengan do’a serta restunya
3. teman-teman seperjuangan
4. serta segenap pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu

Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalanm makalah kami. Sehingga kami mengharapkan keritikan dan saran dari para pembaca yang sifatnya membangun untuk penbuatan makalah kami berikutnya. Harapan kami semoga makalah kami dapat memberi manfaat bagi penulis pada khususnya dan pada pembaca umumnya.

Malang, 27 Maret 2011

Penulis


DAFTAR ISI

Cover
Kata pengantar
Daftar isi

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar belakang
B. Rumusan masalah
C. Tujuan Pembahasan

BAB II: PEMBAHASAN

A. Biografi Imam Hanafi

B. Pola Pemikiran, Metode Istidlal Imam Hanafi Dalam Menggali Hukum Islam
1. Pola pemikiran dan metode istidlal imam hanafi dalam menetapkan hukum islam
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi imam hanafi dalam menetapkan hukum islam.

C. Cara Imam Hanafi dalam Meberikan Pengajaran

D. Pandangan Para Ulama Terhadap Abu Hanifah

BAB III: PENUTUP

A. Kesinpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A.Latarbelakang

Pada masa Rasulullah umat islam masih dalam satu kalimat. Ketika itu islam adalah risalah al-muballaghoh (risalah yang disampaikan) tidak ada istilah islam sunni atau islam syi’i. aqidah dan aktifitas keagamaan masih satu. Sepeninggal Nabi, kegiatan ke islaman dilanjutkan oleh sahabat, kemudian tabi’in. pada priode inilah muncul kelompok rasionalis, seperti mu’tazilah dan masih banyak lagi yang lainnya, kemudian muncul beberapa madzab, disini kami hanya akan membahas tentang salah satu madzab al-arba’ah yaitu imam hanafi.

B.Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah Biografi Imam Hanafi?
2. Bagaimanakah Pola Pemikiran dan Metode Istidlal Imam Hanafi dalam Menetapkan Hukum Islam?
3. Apa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Imam Hanafi dalam Menetapkan Hukum Islam?
4. Bagaimana Imam Hanafi dalam Mengajarkan Ilmunya Kepada Muridnya?

C. Tujuan Pembahasan

Menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagaimana yang terdapat pada rumusan masalah. Dan Juga untuk mengetahui tentang seluk-beluk Imam Hanafi dan pemikirannya serta mengetahui lebih dalam tentang madzhab imam hanafi.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Imam Hanafi

Nama lengkapnya adalah “al-Nu’man bin Tsabit Ibnu Zufiy al-Taimy”, yang masih ada hubungan keluarga dengan Ali bin Abi Thalib. Imam Hanafi dilahirkan pada tahun 80 Hijrah bertepatan tahun 699 Masehi di sebuah kota bernama Kufah dan wafat di Baghdhad tahun 150 H./767 M .
Nama yang sebenarnya ialah Nu’man bin Tsabit bin Zautha bin Maha. Kemudian masyhur dengan gelaran Imam Hanafi. Kemasyhuran nama tersebut menurut para ahli sejarah ada beberapa sebab:
1. Kerana ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Hanifah, maka ia diberi julukan dengan Abu Hanifah.
2. Kerana semenjak kecilnya sangat tekun belajar dan menghayati setiap yang dipelajarinya, maka ia dianggap seorang yang hanif (kecenderungan/condong) pada agama. Itulah sebabnya ia masyhur dengan gelaran Abu Hanifah.
3. Menurut bahasa Persia, Hanifah bererti tinta. Imam Hanafi sangat rajin menulis hadith-hadith, ke mana ia pergi selalu membawa tinta. Kerana itu ia dinamakan Abu Hanifah.
Waktu ia dilahirkan, pemerintahan Islam berada di tangan Abdul Malik bin Marwan, dari keturunan Bani Umaiyyah kelima. Kepandaian Imam Hanafi tidak diragukan lagi, beliau mengerti betul tentang ilmu fiqih, ilmu tauhid, ilmu kalam, dan juga ilmu hadith. Di samping itu beliau juga pandai dalam ilmu kesusasteraan dan hikmah .
Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah cucunya menuturkan bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi mengunjungi Ali Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya pada dirinya dan keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Ali tersebut untuk kami. Dan Abu Hanifah At-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera, bahkan dia punya toko untuk berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits.
Abu Hanifah itu tinggi badannya sedang, memiliki postur tubuh yang bagus, jelas dalam berbicara, suaranya bagus dan enak didengar, bagus wajahnya, bagus pakaiannya dan selalu memakai minyak wangi, bagus dalam bermajelis, sangat kasih sayang, bagus dalam pergaulan bersama rekan-rekannya, disegani dan tidak membicarakan hal-hal yang tidak berguna.
Imam Hanafi adalah seorang hamba Allah yang bertakwa dan soleh, seluruh waktunya lebih banyak diisi dengan amal ibadah. Jika beliau berdoa matanya bercucuran air mata demi mengharapkan keridhaan Allah SWT. Walaupun demikian orang-orang yang berjiwa jahat selalu berusaha untuk menganiaya beliau.
Beliau disibukkan dengan mencari atsar/hadits dan juga melakukan rihlah untuk mencari hal itu. Dan beliau ahli dalam bidang fiqih, mempunyai kecermatan dalam berpendapat, dan dalam permasalahan-permasalahan yang samar/sulit maka kepada beliau akhir penyelesaiannya.
Sifat keberanian beliau adalah berani menegakkan dan mempertahankan kebenaran. Untuk kebenaran ia tidak takut sengsara atau apa bahaya yang akan diterimanya. Dengan keberaniannya itu beliau selalu mencegah orang-orang yang melakukan perbuatan mungkar, kerana menurut Imam Hanafi kalau kemungkaran itu tidak dicegah, bukan orang yang berbuat kejahatan itu saja yang akan merasakan akibatnya, melainkan semuanya, termasuk orang-orang yang baik yang ada di tempat tersebut. Sebagian dilukiskan dalam sebuah hadith Rasulullah SAW bahawa bumi ini diumpamakan sebuah bahtera yang didiami oleh dua kumpulan.
Kumpulan pertama adalah terdiri orang-orang yang baik-baik sementara kumpulan kedua terdiri dari yang jahat-jahat. Kalau kumpulan jahat ini ingin merusak bahtera dan kumpulan baik itu tidak mahu mencegahnya, maka seluruh penghuni bahtera itu akan binasa. Tetapi sebaliknya jika kumpulan yang baik itu mahu mencegah perbuatan orang-orang yang mahu membuat kerosakan di atas bahtera itu, maka semuanya akan selamat. Beliau sempat bertemu dengan Anas bin Malik tatkala datang ke Kufah dan belajar kepadanya, beliau juga belajar dan meriwayat dari ulama lain seperti Atha’ bin Abi Rabbah yang merupakan syaikh besarnya, Asy-Sya’bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj al-A’raj, Amru bin Dinar, Thalhah bin Nafi’, Nafi’ Maula Ibnu Umar, Qotadah bin Di’amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman guru fiqihnya, Abu Ja’far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin Munkandar, dan masih banyak lagi. Dan ada yang meriwayatkan bahwa beliau sempat bertemu dengan 7 sahabat.
Adapun orang-orang yang belajar kepadanya dan meriwayatkan darinya diantaranya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Abul Hajaj di dalam Tahdzibnya berdasarkan abjad diantaranya Ibrahin bin Thahman seorang alim dari Khurasan, Abyadh bin Al-Aghar bin Ash-Shabah, Ishaq al-Azroq, Asar bin Amru Al-Bajali, Ismail bin Yahya Al-Sirafi, Al-Harits bin Nahban, Al-Hasan bin Ziyad, Hafsh binn Abdurrahman al-Qadhi, Hamad bin Abu Hanifah, Hamzah temannya penjual minyak wangi, Dawud Ath-Thai, Sulaiman bin Amr An-Nakhai, Su’aib bin Ishaq, Abdullah ibnul Mubarok, Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi, Abdul karim bin Muhammad al-Jurjani, Abdullah bin Zubair al-Qurasy, Ali bin Zhibyan al-Qodhi, Ali bin Ashim, Isa bin Yunus, Abu Nu’aim, Al-Fadhl bin Musa, Muhammad bin Bisyr, Muhammad bin Hasan Assaibani, Muhammad bin Abdullah al-Anshari, Muhammad bin Qoshim al-Asadi, Nu’man bin Abdus Salam al-Asbahani, Waki’ bin Al-Jarah, Yahya bin Ayub Al-Mishri, Yazid bin Harun, Abu Syihab Al-Hanath Assamaqondi, Al-Qodhi Abu Yusuf, dan lain-lain.
Sifat Imam Hanafi yang lain adalah menolak kedudukan tinggi yang diberikan pemerintah kepadanya. Ia menolak pangkat dan menolak wang yang dibelikan kepadanya. Akibat dari penolakannya itu ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Di dalam penjara ia disiksa, dipukul dan sebagainya.
Suatu hari Imam Hanafi mendapat panggilan dari baginda Al-Mansur di Baghdad, supaya ia datang mengadap ke istana. Sesampainya ia di istana Baghdad ia ditetapkan oleh baginda menjadi kadi (hakim) kerajaan Baghdad. Dengan tawaran tersebut, salah seorang pegawai negara bertanya: “Adakah guru tetap akan menolak kedudukan baik itu?” Dijawab oleh Imam Hanafi “Amirul mukminin lebih kuat membayar kifarat sumpahnya daripada saya membayar sumpah saya.”
Kerana ia masih tetap menolak, maka diperintahkan kepada pengawal untuk menangkapnya, kemudian dimasukkan ke dalam penjara di Baghdad. Pada saat itu para ulama yang terkemuka di Kufah ada tiga orang. Salah satu di antaranya ialah Imam Ibnu Abi Laila. Ulama ini sejak pemerintahan Abu Abbas as Saffah telah menjadi mufti kerajaan untuk kota Kufah. Kerana sikap Imam Hanafi itu, Imam Abi Laila pun dilarang memberi fatwa.
Pada suatu hari Imam Hanafi dikeluarkan dari penjara kerana mendapat panggilan dari Al-Mansur, tetapi ia tetap menolak. Baginda bertanya, “Apakah engkau telah suka dalam keadaan seperti ini?”. Dijawab oleh Imam Hanafi: “Wahai Amirul Mukminin semoga Allah memperbaiki Amirul Mukminin.Wahai Amirul Mukminin, takutlah kepada Allah, janganlah bersekutu dalam kepercayaan dengan orang yang tidak takut kepada Allah. Demi Allah saya bukanlah orang yang boleh dipercayai di waktu tenang, maka bagaimana saya akan dipercayai di waktu marah, sungguh saya tidak sepatutnya diberi jawatan itu.”
Baginda berkata lagi: “Kamu berdusta, kamu patut dan sesuai memegang jawatan itu.” Dijawab oleh Imam Hanafi: “Amirul Mukminin, sungguh baginda telah menetapkan sendiri, jika saya benar, saya telah menyatakan bahawa saya tidak patut memegang jawatan itu. Jika saya berdusta, maka bagaimana baginda akan mengangkat seorang maulana yang dipandang rendah oleh bangsa Arab. Bangsa Arab tidak akan rela diadili seorang golongan hakim seperti saya.”
Pernah juga terjadi, baginda Abu Jaffar Al-Mansur memanggil tiga orang ulama besar ke istananya, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Sufyan ats Tauri dan Imam Syarik an Nakha’i. Setelah mereka hadir di istana, maka ketiganya ditetapkan untuk menduduki pangkat yang cukup tinggi dalam kenegaraan, masing-masing diberi surat pelantikan tersebut. Imam Sufyan ats Tauri diangkat menjadi kadi di Kota Basrah, lmam Syarik diangkat menjadi kadi di ibu kota. Adapun Imam Hanafi tidak mahu menerima pengangkatan itu di manapun ia diletakkan. Pengangkatan itu disertai dengan ancaman bahawa siapa saja yang tidak mahu menerima jawatan itu akan didera sebanyak l00 kali deraan. Imam Syarik menerima jawatan itu, tetapi Imam Sufyan tidak mahu menerimanya, kemudian ia melarikan diri ke Yaman. Imam Abu Hanifah juga tidak mahu menerimanya dan tidak pula berusaha melarikan diri.
Oleh sebab itu Imam Abu Hanifah dimasukkan kembali ke dalam penjara dan dijatuhi hukuman sebanyak 100 kali dera. Setiap pagi dipukul dengan cambuk sementara dileher beliau dikalung dengan rantai besi yang berat. Suatu kali Imam Hanafi dipanggil baginda untuk mengadapnya. Setelah tiba di depan baginda, lalu diberinya segelas air yang berisi racun. Ia dipaksa meminumnya. Setelah diminum air yang beracun itu Imam Hanafi kembali dimasukkan ke dalam penjara. Imam Hanafi wafat dalam keadaan menderita di penjara ketika itu ia berusia 70 tahun.

B. Pola Pemikiran, Metode Istidlal Imam hanafi Dalam menggali Hukum Islam

1. Pola Pemikiran dan Metode Istidlal Imam Hanafi dalam Menetapkan Hukum Islam
Imam Abu Hanifah Termasuk ulama yang tangguh dalam memerangi perinsip pemikiranya, hal ini dapat dibuktikan dari adanya tawaran beberapa jabatan resmi di pemerintah, baik dalam kekholifahan bani Umayyah yang di jalani saelama 52 tahun maupun kekhalifahan bani Abassiyah di Bahgdhad selama 18 tahun.
Dalam perjalanan hidupnya, Imam Abu Hanifah selama 52 tahun pernah menyaksikan tragedi-tragedi besar, sehingga dalam suatu sisi, kota ini memberikan arti dalam kehidupannya dalam menjadikan dirinya sebagai salah seorang ulama besar dengan julukan “al-Imam al-A’dlam” akan tetapi disisilain beliau merasakan kota kuffah sebagai kota yang penuh terror yang di dalamnya di warnai dengan pergolakan politik. Sekalipun demikian, kota kuffah dan kota bashroh di irak tetap menjadi kota kelahiran beberapa ilmuan dalam berbagai disiplin ilmu, padahal Negara sedang mengalami proses transformasi social cultural, politik dan pertentangan tradisional antara suku Arab Utara, Arab Selatan dan Persi, sehingga factor inilah yang mempengaruhi pola pikir imam abu hanifah dalam menetapkan hukum, yang sudah barang tentu sangat di pengaruhi oleh latar belakang kehidupan dan pendidikan yang tidak lepas dari sumber hukum yang ada.
Oleh sebab itu maka Imam abu Hanifah dikenal sebagai ulama “ahl al-Ra’yi” dimana dalam menetapkan hukum baik yang diistinbatkan dari Al-Quran atau al-Hadist, beliau selalu memperbanyak penggunaan nalar dan lebih mendahulukan al-Ra’yu dari pada Khobar Ahad. Jika sedang menemukan hadist yang secara lahiriah bertentangan, maka beliau menetapkan hukum dengan menggunakan jalan Qias dan Isthsan. Sedangkan untuk mengetahui metode istidlal Imam Abu Hanifah, dapat dilihat dari pengakuan yang di buatnya sendiri yaitu:
a). “Sesungguhnya saya mengambil kitab Al-Qur’an dalam menetapkan hukum, jika tidak ditemukan, maka aku mengambilnya dari al-Hadits yang sahih yang tersiar secara mashur di kalangan orang-orang terpercaya, jika tidak ditemukan dari keduanya, maka aku mengambilnya dari pendapat orang-orang terpercaya yang aku kehendaki, lalu aku tidak keluar dari pandangan mereka, jika masalah tersebut sampai pada Ibrahim al-Sya’by, Hasan bin Sirin dan Sa’ad ibn musayyab, maka aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad”
b). Abu Hanifah bekata: Pertama-tama aku mencari dasar hukum dalam al-Qur’an kalau tidak ada aku mencarinya dalam sunah nabi, kalau tidak ada aku pelajari fatwa-fatwa para sahabat dan aku memilih mana yang paling kuat, tetapi jika orang telah melakukan ijtihad, maka akupun melakukan ijtihad
c). Dalam menanggapi persoalan, Imam Abu Hanifah selalu mengatakan : “Inilah pendapatku dan jika ada orang yang membawa pendapat yang lebih kuat dari aku, maka pendapat itulah yang lebih benar”
d). Beliau pernah suatu saat ditanya oleh seseorang: “Apakah yang telah engkau fatwakan itu benar dan tidak diragukan lagi?. Lalu ia menjawab: “Demi Allah, boleh jadi itu adalah fatwa yang salah yang tidak diragukan lagi akan kesalahannya.”
Berdasarkan kenyataan dari pernyataan diatas, terlihat bahwa Imam Abu Hanifah dalam menepatkan hukum syar’i (beristidlal) tidak selalu memutuskan melalui dalalahnya secara qath’i dari al-quran dan as-sunnah yang kesahihannya masih diragukan, tetapi menggunakan al-ra’yu. Sebab beliau sangat selektif dalam menerima as-sunnah, sehingga beliau masih memperhatikan mu’amalah manusia dan adat-istiadat serta urf mereka.
Dengan demikian dalam beristinbatnya Imam Abu Hanifah tetap menggunakan al-Qiyas sebagai dasar pegangannya, jika tidak bisa menggunakan al-Qiyas, mak berpegang pada istishah selama dapat dilakukan, jika tidak bisa, baru beliau berpegang pada adat dan urf.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Imam Hanafi dalam Menetapkan Hukum Islam.
Kota kufah yang letaknya jauh dari madinah sebagai kota tempat tinggal Rasulallah saw yang banyak mengetahui seluk beluk as-sunnah, membuat perbendaharaan hadits berkurang, disamping itu kota kufah yang letaknya ditengah- tengah kebudayaan persi dengan kondisi kemasyarakatannya telah mencapai tingkat peradaban cukup tinggi, banyak bermunculan berbagai macam persoalan kemasyarakatan yang memerlukan penetapan hukumnya padahal persoalan tersebut belum pernah terjadi dimasa Nabi, sahabat dan Tabi’in sehingga untuk menghadapinya diperlukan ijtihad atau al-Ra’yu. Factor itulah yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan dalam perkembangan pemikiran hukum islam di kufah, dengan di Madinah Hijaz.
Oleh sebab itulah ulama Madinah banyak sekali yang menggunakan hadits dalam menyelesaikan berbagai bentuk persoalan yang muncul dalam masyarakat, sedangkan di kufah pemakaian hadits sebagai dasar penetapan hukum syari’at hanyalah sedikit sebab dalam kenyataan al-hadist di kota kufah saat itu sedikit sekali dalam menanggapi masalah ini, Ayeed Amir Ali menyatakan bahwa karya-karya Abu hanifah, baik yang berkaitan dengan fatwa-fatwa maupun ijtihad-ijtihadnya saat itu (pada saat beliau masih hidup) belum dibukukan, tetapi setelah wafat murid-muridnya dan pengikutnya membukukan. Sehingga menjadikan madzhab ahl al-Ra’yi ini hidup dan berkembang dan dalam perkembangan selanjutnya berdiri sebuah madrasah, yang kemudian dikenal dengan sebutan “Madrasah Hanafi atau Madrasah ahl al-Ra’yi selain namanya yang terkenal menurut versi sejarah hukum islam sebagai “Madrasah kufah”.
Secara garis besar bahwa dasar-dasar Madzhab Imam Hanafy adalah bersandar kepada :
1. Al-qur’an
2. Sunnah Rasulullah dan atsar-atsar yang shahih serta telah terkenal diantara para ulama yang ahli
3. Fatwa-fatwa dari para sahabat
4. Qiyas
5. Istihsan
6.Adat yang telah berlaku dikalangan masyarakat umat islam

C. Cara Imam Hanafi dalam memberikan pengajaran

Imam Hanafy dalam memberikan pengajaran kepada murid-muridnya yang telah dewasa ialah dengan menekankan agar murid-muridnya dapat lebih kritis dan dewasa dalam berfikir, tidak hanya menitik beratkan kepada apa yang telah beliau jelaskan saja, dengan maksud agar para murid-muridnya dapat mencari dan menyelidiki dari mana asal dan sumber pengetahuan yang beliau sampaikan serta membahas hukum-hukun agama dengan sebaik-baiknya, seluas-luasnya dan dengan arti kata yang sebenarnya mengikuti ajaran Allah dan sunah-sunah rasul-Nya.
Lebih jelasnya bahwa Imam Hanafy terhadap para muridnya hanya selaku pengajar ( guru ) saja dan tidak terikat pribadi beliau. Mereka diberi kemerdekaan untuk berfikir, dibebaskan untuk memecahkan masalah-masalah yang perlu dipecahkan, bahkan sewaktu-waktu diperkenankan untuk membantah terhadap pengajaran-pengajaran dan atau pendapat-pendapat beliau tentang segala masalah yang kiranya terasa olehnya menyalahi wahyu ilahi atau berlawanan dengan hadits nabi, yang disertai dengan penyelidikan akal yang bersih, murni dari segala macam pengaruh.
Yang menonjol dari fiqh Imam Abu Hanifah ini antara lain adalah :
1. Sangat rasiona, mementingkan maslahat, dan manfaat.
2. Lebih mudah dipahami dari pada mazhab yang lain.
3. Lebih liberal sikapnya terhadap dzimis (warga negara yang muslim).
Hal ini bisa dipahami karena cara beristinbat Abu Hanifah selalu ; memikirkan dan memperhatikan apa yang ada di belakang nash yang tersurat yaitu illat-illat dan maksud-maksud hukum. Sedang untuk masalah-masalah yang tidak ada nash-nya beliau nerikan qiyas, ihtihsan, dan urf.
Kitab yang langsung dinisbahkan kepada Abu Hanifah adalah fiqh al-akbar, al-Alim wal Muta’alim, dan musnad. Sedangkan buku-buku lainnya banyak ditulis oleh muridnya yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asyaibani. Abu Yusuf kemudian menjadi ketua Mahkamah Agung zaman Khalifah Harun al-rasyid. Muhammad bin Hasan A-Syaibani menyusun Kitab-kitab al-Mabsuth, al-jami’ al-Shaghir, al-jami’ al-Kabir, al-siyar al-kabir, al-Siyar al-Asyghar, dan al ziyyadat.
D. Pandangan para ulama terhadap Abu Hanifah
Berikut ini beberapa penilaian para ulama tentang Abu Hanifah, diantaranya:
1. Yahya bin Ma’in berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh, dia tidak membicarakan hadits kecuali yang dia hafal dan tidak membicarakan apa-apa yang tidak hafal”. Dan dalam waktu yang lain beliau berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh di dalam hadits”. Dan dia juga berkata, “Abu hanifah laa ba’sa bih, dia tidak berdusta, orang yang jujur, tidak tertuduh dengan berdusta”.
2. Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Kalaulah Allah subhanahu wa ta’ala tidak menolong saya melalui Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri maka saya hanya akan seperti orang biasa”. Dan beliau juga berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang paling faqih”. Dan beliau juga pernah berkata, “Aku berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, ‘Wahai Abu Abdillah, orang yang paling jauh dari perbuatan ghibah adalah Abu Hanifah, saya tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah meskipun kepada musuhnya’ kemudian beliau menimpali ‘Demi Allah, dia adalah orang yang paling berakal, dia tidak menghilangkan kebaikannya dengan perbuatan ghibah’.” Beliau juga berkata, “Aku datang ke kota Kufah, aku bertanya siapakah orang yang paling wara’ di kota Kufah? Maka mereka penduduk Kufah menjawab Abu Hanifah”. Beliau juga berkata, “Apabila atsar telah diketahui, dan masih membutuhkan pendapat, kemudian imam Malik berpendapat, Sufyan berpendapat dan Abu Hanifah berpendapat maka yang paling bagus pendapatnya adalah Abu Hanifah … dan dia orang yang paling faqih dari ketiganya”.
3. Al-Qodhi Abu Yusuf berkata, “Abu Hanifah berkata, tidak selayaknya bagi seseorang berbicara tentang hadits kecuali apa-apa yang dia hafal sebagaimana dia mendengarnya”. Beliau juga berkata, “Saya tidak melihat seseorang yang lebih tahu tentang tafsir hadits dan tempat-tempat pengambilan fiqih hadits dari Abu Hanifah”.
4. Imam Syafii berkata, “Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan) dalam masalah fiqih hendaklah dia belajar kepada Abu Hanifah”
5. Fudhail bin Iyadh berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang faqih, terkenal dengan wara’-nya, termasuk salah seorang hartawan, sabar dalam belajar dan mengajarkan ilmu, sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan cara yang baik, menghindari dari harta penguasa”. Qois bin Rabi’ juga mengatakan hal serupa dengan perkataan Fudhail bin Iyadh.
6. Yahya bin Sa’id al-Qothan berkata, “Kami tidak mendustakan Allah swt, tidaklah kami mendengar pendapat yang lebih baik dari pendapat Abu Hanifah, dan sungguh banyak mengambil pendapatnya”.
7. Hafsh bin Ghiyats berkata, “Pendapat Abu Hanifah di dalam masalah fiqih lebih mendalam dari pada syair, dan tidaklah mencelanya melainkan dia itu orang yang jahil tentangnya”.
8. Al-Khuroibi berkata, “Tidaklah orang itu mensela Abu Hanifah melainkan dia itu orang yang pendengki atau orang yang jahil”.
9. Sufyan bin Uyainah berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah karena dia adalah termasuk orang yang menjaga shalatnya (banyak melakukan shalat)”.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Nama lengkap Imam Hanafi adalah “al-Nu’man bin Tsabit Ibnu Zufiy al-Taimy”, Imam Hanafi dilahirkan pada tahun 80 Hijrah bertepatan tahun 699 Masehi di sebuah kota bernama Kufah dan wafat di Baghdhad tahun 150 H./767M
Imam Abu Hanifah dalam menepatkan hukum syar’y (beristidlal) tida selalu memutuskan melalui dalalahnya secara qath’I dari al-quran dan as-sunnah yang kesahihannya masih diragukan, tetapi menggunakan al-ra’yu. Sebab beliau sangat selektif dalam menerima as-sunnah, sehingga beliau masih memperhatikan mu’amalah manusia dan adat-istiadat serta urf mereka.
Kota kufah yang letaknya jauh dari madinah sebagai kota tempat tinggal Rasulallah saw yang banyak mengetahui seluk beluk as-sunnah, membuat pembendaharaan hadits berkurang, disamping itu kota kufah yang letaknya ditengah- tengah kebudayaan persi dengan kondisi kemasyarakatannya telah mencapai tingkat peradaban cukup tinggi, banyak bermunculan berbagai macam persoalan kemasyarakatan yang memerlukan penetapan hukumnya padahal persoalan tersebut belum pernah terjadi dimasa Nabi, sahabat dan Tabi’in sehingga untuk menghadapinya diperlukan ijtihad atau al-Ra’yu.
Factor itulah yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan dalam perkembangan pemikiran hukum islam di kufah, dengan di Madinah Hijaz.

B. Saran
Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalanm makalah kami. Sehingga kami mengharapkan keritikan dan saran dari para pembaca yang sifatnya membangun untuk penbuatan makalah kami berikutnya. Harapan kami semoga makalah kami dapat memberi manfaat bagi penulis pada khususnya dan pada pembaca umumnya.

Daftar Pustaka

1. Jawad, Muhammad Mughniyyah ,”al-Fiqih Ala al-Madzhab al-Khamsah” Beirut, Libanon Dar al-Jawad,1998
2. Dimiathi, Syatha,Abu Bakar, Sayyid “ Inanah al-Thalibin” Surabaya Maktabar al-Hidayah
3. Shubhi mahmashani, falsafahal-Tasyri’ Bandung Ma’arif.1981
4. Abu Zahrah, Tarikh al-Madzhab al-Islamiah
5. Ibnu Abdil Bar, Intiqa’
6. Syeed Amir Ali, The Spirit of Islam
7. Abdul Qodir Tarikh al-fiqih al-Islami
8. Ma'shum Muhammad Zein, arus pemikiran empat mazhab.jombang darul hikmah, 2008
9. Djazuli, H.A. 2006. Ilmu Fiqh. Jakarta: Kencana.
10. Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
11. Khalil, Rasyad Hasan. 2009. Tarikh Tasyri’. Jakarta: Amzah.
12. Ghandur, Achmad El. 2006. Perspektif Hukum Islam. Yogyakarta: Putaka Fahima.
13. Rohayana, Ade Dedi. 2008. Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah. Jakarta: Gaya Media Pratama

ZAKAT KONSUMTIF DAN PRODUKTIF

berkaitan dengan ekonomi keuangan kemasyarakatan) dan merupakan salah satu dari lima rukun islam yang mempunyai status dan fungsi yang penting dalam syariat islam. Perlu diingat bahwa zakat itu mempunyai dua fungsi. Pertama adalah untuk membersihkan harta benda dan jiwa manusia supaya senantiasa dalam keadaan fitrah. Kedua, zakat itu juga berfungsi sebagai dana masyarakat yang dimanfaatkan untuk kepentingan sosial guna mengurangi kemiskinan.
Pada umumnya zakat yang diberikan kepada mereka bersifat konsumtif yaitu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun kurang membantu mereka untuk jangka panjang. Karena uang atau kebutuhan sehari-hari yang diberikan akan segera habis dan mereka akan kembali hidup dalam keadaan fakir dan miskin. Banyak sekali pendapat bahwa zakat yang dikeluarkan kepada orang golongan ini dapat bersifat produktif yaitu untuk menambah atau sebagai modal usaha mereka.
Oleh karena itu untuk memberikan zakat yang bersifat konsumtif harus melalui syarat yang mana mampu melakukan pembinaan dan pendampingan pada mustahiq agar usahanya dapat berjalan dengan baik. Disamping melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para mustahiq dalam kegiatan usahanya, juga harus memberikan pembinaan ruhani dan intelektual keagamaannya, agar semakin meningkat keimanan dan keislamannya.

Pembahasan
A. Zakat Konsumtif dan Zakat Produktif
1. Zakat Sebagai Sumber Dana Tetap yang Potensial
Zakat bisa menjadi sumber dana tetap yang potensial yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup umat manusia, terutama golongan fakir miskin, sehingga mereka bisa hidup layak secara mandiri tanpa menggantungkan nasibnya atas belas kasihan orang lain. Hal ini sejalan dengan hikmah diwajibkannya zakat sebagai umat islam yang mampu, yang antara lain adalah sebagai berikut:
a. Untuk membersihkan/menyucikan jiwa si muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) dari sifat-sifat tercela seperti kikir, sangat mementingkan diri sendiri (individualisme) dan sebagainya.
b. Untuk membersihkan harta bendanya dari kemungkinan bercampur dengan harta benda yang tidak 100% halal. Misalnya ‘syubhat’ atau diperoleh kurang wajar. Misalnya seorang dosen menerima honorarium mengajar untuk 12 bulan, sebenarnya hanya mengajar 6 bulan. Perhatikan firman Allah SWT. dalam Surat Al-Taubah ayat 103:


Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan….” (QS. At-Taubah: 103).
c. Untuk mencegah berputarnya harta kekayaan berada di tangan orang kaya saja, demi mewujudkan pemerataan pendapatan dan kesejahteraan rakyat.
d. Untuk memenuhi kepentingan umum, seperti jembatan dan untuk kepentingan agama seperti masjid/musholla dan sebagainya.
e. Untuk meningkatkan kualitas hidup/kesejahteraan manusia.
2. Penggunaan Zakat Konsumtif dan Produktif
Menurut Dawam Raharjo dkk. dalam bukunya “Islam dan Kemiskinan” mengatakan: “Dalam gagasan strategi yang baru, yang disebut Basic Strategy timbul gagasan untuk melakukan sesuatu yang disebut “pengalihan konsumtif” (transfer of consumption), “pengalihan pendapatan” (transfer of income), “pengalihan kekayaan” (transfer of wealth), “pengalihan investasi” (transfer of invest) ataupun “pembagian kembali kekuasaan” (redistribution of powers). Maksudnya adalah bahwa hendaknya program-program pembangunan itu ditujukan dan dapat diambil manfaatnya secara langsung oleh golongan yang paling miskin dan paling lemah.
Imam Nawawi berkata dalam Kitab Al-Majmu’: “Masalah kedua adalah dalam menentukan bagian zakat untuk orang fakir dan miskin. Sahabat-sahabat kami orang-orang Irak dan Khurasan telah berkata: Apa yang diberikan kepada orang fakir dan miskin, hendaklah dapat mengeluarkan mereka dari lembah kemiskinan kepada taraf hidup yang layak. Ini berarti ia mesti menerima sejumlah barang atau uang tunai yang dapat memenuhi semua kebutuhannya”.
Untuk melepaskan mereka dari kemiskinan dan ketergantungan mereka dengan bantuan orang lain. Untuk itu perlunya penggunaan zakat produktif tradisional dan zakat produktif kreatif. Sebenarnya berdasarkan pengamatan dan bacaan kepustakaan dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pemanfaatan zakat ada empat kategori. Selain zakat produktif tradisional dan kreatif, ada juga zakat konsumtif tradisional dan kreatif. Akan tetapi zakat konsumtif tradisional sifatnya dalam kategori ini zakat dibagikan kepada orang yang berhak menerimanya untuk dimanfaatkan langsung oleh yang bersangkutan seperti zakat fitrah yang diberikan kepada fakir miskin untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, atau zakat harta yang diberikan kepada korban bencana alam. Kategori kedua adalah zakat konsumtif kreatif. Maksudnya adalah zakat yang diwujudkan dalam bentuk lain dari barangnya semula seperti misalnya diwujudkan dalam bentuk alat sekolah, beasiswa dan lain-lain. Adapun zakat produktif tradisional dan kreatif, guna untuk melepaskan fakir miskin kepada taraf hidup yang layak dan dapat memenuhi semua kebutuhannya, yaitu kategori ketiga, zakat produktif tradisional adalah zakat yang diberikan dalam bentuk barang-barang produktif. Misalnya kambing, sapi, mesin jahit, alat-alat pertukaran dan sebagainya. Pemberian zakat dalam bentuk ini akan dapat mendorong orang menciptakan suatu usaha atau memberikan lapangan kerja bagi fakir miskin.
Selanjutnya yaitu kategori terakhir, zakat produktif kreatif. Ke dalam bentuk ini dimaksudkan semua pendayagunaan zakat yang diwujudkan dalam bentuk modal yang dapat dipergunakan, biak untuk membangun suatu proyek sosial maupun untuk membantu atau menambah modal seseorang pedagang atau pengusaha kecil. Penggunaan kategori ketiga dan keempat ini perlu dikembangkan karena pendayagunaan zakat yang demikian mendekati hakikat zakat, baik yang terkandung dalam fungsinya, sebagai ibadah dalam kedudukannya sebagai dana masyarakat.
Akan tetapi diisyaratkan bahwa yang memberikan zakat yang bersifat produktif adalah yang mampu melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para mustahiq zakat dalam kegiatan usahanya. Juga harus memberikan pembinaan rohani dan intelektual keagamaannya agar semakin meningkat kualitas keimanann dan keislamannya.
Bahtsul Masail Diniyah Maudhuiyyah atau pembahasan masalah keagamaan penting dalam muktamar ke-28 Nahdlatul Ulama, memberikan arahan bahwa dua hal di atas diperbolehkan dengan maksud untuk meningkatkan kehidupan ekonomi para mustahiq zakat. Namun ada persyaratan penting bahwa calon mustahiq itu sendiri sebelumnya harus mengetahui bahwa harta zakat yang seandainya mereka terima akan disalurkan secara produktif atau didayagunakan dan mereka memberi izin atas penyaluran zakat dengan cara seperti itu.
3. Langkah-langkah Pendistribusian Zakat
Adapun langkah-langkah pendistribusian zakat produktif tersebut berupa sebagai berikut:
a. Pendataan yang akurat sehingga yang menerima benar-benar orang yang tepat.
b. Pengelompokkan peserta ke dalam kelompok kecil, homogen baik dari sisi gender, pendidikan, ekonomi dan usia dan kemudian dipilih ketua kelompok, diberi pembimbing dan pelatih.
c. Pemberian pelatihan dasar, pada pendidikan dalam pelatihan harus berfokus untuk melahirkan pembuatan usaha produktif, manajemen usaha, pengelolaan keuangan usaha dan lain-lain. Pad pelatihan ini juga diberi penguatan secara agama sehingga melahirkan anggota yang berkarakter dan bertanggung jawab.
d. Pemberian dana, dana diberikan setelah materi tercapai, dan peserta dirasa telah dapat menerima materi dengan baik. Usaha yang telah direncanakan pun dapat diambil. Anggota akan dibimbing oleh pembimbing dan mentor secara intensif sampai anggota tersebut mandiri untuk menjalankan usaha sendiri.

Kesimpulan
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Bahwa untuk melepaskan dari kemiskinan dan ketergantungan, orang yang tidak mampu (miskin) dengan bantuan orang lain, yaitu perlunya penggunaan zakat secara produktif untuk meningkatkan kehidupan mereka, dan agar mereka mampu mandiri dan mencukupi kebutuhan pokok hidupnya dalam jangka panjang juga terlepas dari kemiskinan.
Dan dalam melaksanakan zakat yang bersifat produktif perlu adanya kapasitas lebih dari pengelola zakat untuk mengimplementasikan konsep pemberdayaan ini, baik dari segi sumber daya manusia (SDM) maupun infaq yang dimilikinya.