Senin, 28 Maret 2011

IMAM HANAFI

KATA PENGANTAR
Bismillahir rohmanir rohim
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah Swt. Atas limpahan rahmat, taufiq dan hidayah serta inayahnya, makalah ini dapat terselesaikan. Semoga rahmat serta salam tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah berhasil merubah kehidupan dari jahiliah untuk diwujudkan sebagai manusia hakiki yakni manusia yang mengenal Tuhan melalui tuntutan syariat islam. Karya ini dapat kami selesaikan tentunya tidak lepas dari dukungan-dukungan dan bantuan, baik moril maupun sepirituil dari berbagai pihak yang terkait. Oleh karena itu kami ucapkan terimakasih kepada:
1. Bpk Amin Prasojo ,S.Ag dosen mata kuliah STUDI FIQH
2. Ibu Bapak kami yang senantiasa mendukung kami dengan do’a serta restunya
3. teman-teman seperjuangan
4. serta segenap pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu

Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalanm makalah kami. Sehingga kami mengharapkan keritikan dan saran dari para pembaca yang sifatnya membangun untuk penbuatan makalah kami berikutnya. Harapan kami semoga makalah kami dapat memberi manfaat bagi penulis pada khususnya dan pada pembaca umumnya.

Malang, 27 Maret 2011

Penulis


DAFTAR ISI

Cover
Kata pengantar
Daftar isi

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar belakang
B. Rumusan masalah
C. Tujuan Pembahasan

BAB II: PEMBAHASAN

A. Biografi Imam Hanafi

B. Pola Pemikiran, Metode Istidlal Imam Hanafi Dalam Menggali Hukum Islam
1. Pola pemikiran dan metode istidlal imam hanafi dalam menetapkan hukum islam
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi imam hanafi dalam menetapkan hukum islam.

C. Cara Imam Hanafi dalam Meberikan Pengajaran

D. Pandangan Para Ulama Terhadap Abu Hanifah

BAB III: PENUTUP

A. Kesinpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A.Latarbelakang

Pada masa Rasulullah umat islam masih dalam satu kalimat. Ketika itu islam adalah risalah al-muballaghoh (risalah yang disampaikan) tidak ada istilah islam sunni atau islam syi’i. aqidah dan aktifitas keagamaan masih satu. Sepeninggal Nabi, kegiatan ke islaman dilanjutkan oleh sahabat, kemudian tabi’in. pada priode inilah muncul kelompok rasionalis, seperti mu’tazilah dan masih banyak lagi yang lainnya, kemudian muncul beberapa madzab, disini kami hanya akan membahas tentang salah satu madzab al-arba’ah yaitu imam hanafi.

B.Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah Biografi Imam Hanafi?
2. Bagaimanakah Pola Pemikiran dan Metode Istidlal Imam Hanafi dalam Menetapkan Hukum Islam?
3. Apa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Imam Hanafi dalam Menetapkan Hukum Islam?
4. Bagaimana Imam Hanafi dalam Mengajarkan Ilmunya Kepada Muridnya?

C. Tujuan Pembahasan

Menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagaimana yang terdapat pada rumusan masalah. Dan Juga untuk mengetahui tentang seluk-beluk Imam Hanafi dan pemikirannya serta mengetahui lebih dalam tentang madzhab imam hanafi.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Imam Hanafi

Nama lengkapnya adalah “al-Nu’man bin Tsabit Ibnu Zufiy al-Taimy”, yang masih ada hubungan keluarga dengan Ali bin Abi Thalib. Imam Hanafi dilahirkan pada tahun 80 Hijrah bertepatan tahun 699 Masehi di sebuah kota bernama Kufah dan wafat di Baghdhad tahun 150 H./767 M .
Nama yang sebenarnya ialah Nu’man bin Tsabit bin Zautha bin Maha. Kemudian masyhur dengan gelaran Imam Hanafi. Kemasyhuran nama tersebut menurut para ahli sejarah ada beberapa sebab:
1. Kerana ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Hanifah, maka ia diberi julukan dengan Abu Hanifah.
2. Kerana semenjak kecilnya sangat tekun belajar dan menghayati setiap yang dipelajarinya, maka ia dianggap seorang yang hanif (kecenderungan/condong) pada agama. Itulah sebabnya ia masyhur dengan gelaran Abu Hanifah.
3. Menurut bahasa Persia, Hanifah bererti tinta. Imam Hanafi sangat rajin menulis hadith-hadith, ke mana ia pergi selalu membawa tinta. Kerana itu ia dinamakan Abu Hanifah.
Waktu ia dilahirkan, pemerintahan Islam berada di tangan Abdul Malik bin Marwan, dari keturunan Bani Umaiyyah kelima. Kepandaian Imam Hanafi tidak diragukan lagi, beliau mengerti betul tentang ilmu fiqih, ilmu tauhid, ilmu kalam, dan juga ilmu hadith. Di samping itu beliau juga pandai dalam ilmu kesusasteraan dan hikmah .
Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah cucunya menuturkan bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi mengunjungi Ali Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya pada dirinya dan keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Ali tersebut untuk kami. Dan Abu Hanifah At-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera, bahkan dia punya toko untuk berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits.
Abu Hanifah itu tinggi badannya sedang, memiliki postur tubuh yang bagus, jelas dalam berbicara, suaranya bagus dan enak didengar, bagus wajahnya, bagus pakaiannya dan selalu memakai minyak wangi, bagus dalam bermajelis, sangat kasih sayang, bagus dalam pergaulan bersama rekan-rekannya, disegani dan tidak membicarakan hal-hal yang tidak berguna.
Imam Hanafi adalah seorang hamba Allah yang bertakwa dan soleh, seluruh waktunya lebih banyak diisi dengan amal ibadah. Jika beliau berdoa matanya bercucuran air mata demi mengharapkan keridhaan Allah SWT. Walaupun demikian orang-orang yang berjiwa jahat selalu berusaha untuk menganiaya beliau.
Beliau disibukkan dengan mencari atsar/hadits dan juga melakukan rihlah untuk mencari hal itu. Dan beliau ahli dalam bidang fiqih, mempunyai kecermatan dalam berpendapat, dan dalam permasalahan-permasalahan yang samar/sulit maka kepada beliau akhir penyelesaiannya.
Sifat keberanian beliau adalah berani menegakkan dan mempertahankan kebenaran. Untuk kebenaran ia tidak takut sengsara atau apa bahaya yang akan diterimanya. Dengan keberaniannya itu beliau selalu mencegah orang-orang yang melakukan perbuatan mungkar, kerana menurut Imam Hanafi kalau kemungkaran itu tidak dicegah, bukan orang yang berbuat kejahatan itu saja yang akan merasakan akibatnya, melainkan semuanya, termasuk orang-orang yang baik yang ada di tempat tersebut. Sebagian dilukiskan dalam sebuah hadith Rasulullah SAW bahawa bumi ini diumpamakan sebuah bahtera yang didiami oleh dua kumpulan.
Kumpulan pertama adalah terdiri orang-orang yang baik-baik sementara kumpulan kedua terdiri dari yang jahat-jahat. Kalau kumpulan jahat ini ingin merusak bahtera dan kumpulan baik itu tidak mahu mencegahnya, maka seluruh penghuni bahtera itu akan binasa. Tetapi sebaliknya jika kumpulan yang baik itu mahu mencegah perbuatan orang-orang yang mahu membuat kerosakan di atas bahtera itu, maka semuanya akan selamat. Beliau sempat bertemu dengan Anas bin Malik tatkala datang ke Kufah dan belajar kepadanya, beliau juga belajar dan meriwayat dari ulama lain seperti Atha’ bin Abi Rabbah yang merupakan syaikh besarnya, Asy-Sya’bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj al-A’raj, Amru bin Dinar, Thalhah bin Nafi’, Nafi’ Maula Ibnu Umar, Qotadah bin Di’amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman guru fiqihnya, Abu Ja’far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin Munkandar, dan masih banyak lagi. Dan ada yang meriwayatkan bahwa beliau sempat bertemu dengan 7 sahabat.
Adapun orang-orang yang belajar kepadanya dan meriwayatkan darinya diantaranya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Abul Hajaj di dalam Tahdzibnya berdasarkan abjad diantaranya Ibrahin bin Thahman seorang alim dari Khurasan, Abyadh bin Al-Aghar bin Ash-Shabah, Ishaq al-Azroq, Asar bin Amru Al-Bajali, Ismail bin Yahya Al-Sirafi, Al-Harits bin Nahban, Al-Hasan bin Ziyad, Hafsh binn Abdurrahman al-Qadhi, Hamad bin Abu Hanifah, Hamzah temannya penjual minyak wangi, Dawud Ath-Thai, Sulaiman bin Amr An-Nakhai, Su’aib bin Ishaq, Abdullah ibnul Mubarok, Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi, Abdul karim bin Muhammad al-Jurjani, Abdullah bin Zubair al-Qurasy, Ali bin Zhibyan al-Qodhi, Ali bin Ashim, Isa bin Yunus, Abu Nu’aim, Al-Fadhl bin Musa, Muhammad bin Bisyr, Muhammad bin Hasan Assaibani, Muhammad bin Abdullah al-Anshari, Muhammad bin Qoshim al-Asadi, Nu’man bin Abdus Salam al-Asbahani, Waki’ bin Al-Jarah, Yahya bin Ayub Al-Mishri, Yazid bin Harun, Abu Syihab Al-Hanath Assamaqondi, Al-Qodhi Abu Yusuf, dan lain-lain.
Sifat Imam Hanafi yang lain adalah menolak kedudukan tinggi yang diberikan pemerintah kepadanya. Ia menolak pangkat dan menolak wang yang dibelikan kepadanya. Akibat dari penolakannya itu ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Di dalam penjara ia disiksa, dipukul dan sebagainya.
Suatu hari Imam Hanafi mendapat panggilan dari baginda Al-Mansur di Baghdad, supaya ia datang mengadap ke istana. Sesampainya ia di istana Baghdad ia ditetapkan oleh baginda menjadi kadi (hakim) kerajaan Baghdad. Dengan tawaran tersebut, salah seorang pegawai negara bertanya: “Adakah guru tetap akan menolak kedudukan baik itu?” Dijawab oleh Imam Hanafi “Amirul mukminin lebih kuat membayar kifarat sumpahnya daripada saya membayar sumpah saya.”
Kerana ia masih tetap menolak, maka diperintahkan kepada pengawal untuk menangkapnya, kemudian dimasukkan ke dalam penjara di Baghdad. Pada saat itu para ulama yang terkemuka di Kufah ada tiga orang. Salah satu di antaranya ialah Imam Ibnu Abi Laila. Ulama ini sejak pemerintahan Abu Abbas as Saffah telah menjadi mufti kerajaan untuk kota Kufah. Kerana sikap Imam Hanafi itu, Imam Abi Laila pun dilarang memberi fatwa.
Pada suatu hari Imam Hanafi dikeluarkan dari penjara kerana mendapat panggilan dari Al-Mansur, tetapi ia tetap menolak. Baginda bertanya, “Apakah engkau telah suka dalam keadaan seperti ini?”. Dijawab oleh Imam Hanafi: “Wahai Amirul Mukminin semoga Allah memperbaiki Amirul Mukminin.Wahai Amirul Mukminin, takutlah kepada Allah, janganlah bersekutu dalam kepercayaan dengan orang yang tidak takut kepada Allah. Demi Allah saya bukanlah orang yang boleh dipercayai di waktu tenang, maka bagaimana saya akan dipercayai di waktu marah, sungguh saya tidak sepatutnya diberi jawatan itu.”
Baginda berkata lagi: “Kamu berdusta, kamu patut dan sesuai memegang jawatan itu.” Dijawab oleh Imam Hanafi: “Amirul Mukminin, sungguh baginda telah menetapkan sendiri, jika saya benar, saya telah menyatakan bahawa saya tidak patut memegang jawatan itu. Jika saya berdusta, maka bagaimana baginda akan mengangkat seorang maulana yang dipandang rendah oleh bangsa Arab. Bangsa Arab tidak akan rela diadili seorang golongan hakim seperti saya.”
Pernah juga terjadi, baginda Abu Jaffar Al-Mansur memanggil tiga orang ulama besar ke istananya, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Sufyan ats Tauri dan Imam Syarik an Nakha’i. Setelah mereka hadir di istana, maka ketiganya ditetapkan untuk menduduki pangkat yang cukup tinggi dalam kenegaraan, masing-masing diberi surat pelantikan tersebut. Imam Sufyan ats Tauri diangkat menjadi kadi di Kota Basrah, lmam Syarik diangkat menjadi kadi di ibu kota. Adapun Imam Hanafi tidak mahu menerima pengangkatan itu di manapun ia diletakkan. Pengangkatan itu disertai dengan ancaman bahawa siapa saja yang tidak mahu menerima jawatan itu akan didera sebanyak l00 kali deraan. Imam Syarik menerima jawatan itu, tetapi Imam Sufyan tidak mahu menerimanya, kemudian ia melarikan diri ke Yaman. Imam Abu Hanifah juga tidak mahu menerimanya dan tidak pula berusaha melarikan diri.
Oleh sebab itu Imam Abu Hanifah dimasukkan kembali ke dalam penjara dan dijatuhi hukuman sebanyak 100 kali dera. Setiap pagi dipukul dengan cambuk sementara dileher beliau dikalung dengan rantai besi yang berat. Suatu kali Imam Hanafi dipanggil baginda untuk mengadapnya. Setelah tiba di depan baginda, lalu diberinya segelas air yang berisi racun. Ia dipaksa meminumnya. Setelah diminum air yang beracun itu Imam Hanafi kembali dimasukkan ke dalam penjara. Imam Hanafi wafat dalam keadaan menderita di penjara ketika itu ia berusia 70 tahun.

B. Pola Pemikiran, Metode Istidlal Imam hanafi Dalam menggali Hukum Islam

1. Pola Pemikiran dan Metode Istidlal Imam Hanafi dalam Menetapkan Hukum Islam
Imam Abu Hanifah Termasuk ulama yang tangguh dalam memerangi perinsip pemikiranya, hal ini dapat dibuktikan dari adanya tawaran beberapa jabatan resmi di pemerintah, baik dalam kekholifahan bani Umayyah yang di jalani saelama 52 tahun maupun kekhalifahan bani Abassiyah di Bahgdhad selama 18 tahun.
Dalam perjalanan hidupnya, Imam Abu Hanifah selama 52 tahun pernah menyaksikan tragedi-tragedi besar, sehingga dalam suatu sisi, kota ini memberikan arti dalam kehidupannya dalam menjadikan dirinya sebagai salah seorang ulama besar dengan julukan “al-Imam al-A’dlam” akan tetapi disisilain beliau merasakan kota kuffah sebagai kota yang penuh terror yang di dalamnya di warnai dengan pergolakan politik. Sekalipun demikian, kota kuffah dan kota bashroh di irak tetap menjadi kota kelahiran beberapa ilmuan dalam berbagai disiplin ilmu, padahal Negara sedang mengalami proses transformasi social cultural, politik dan pertentangan tradisional antara suku Arab Utara, Arab Selatan dan Persi, sehingga factor inilah yang mempengaruhi pola pikir imam abu hanifah dalam menetapkan hukum, yang sudah barang tentu sangat di pengaruhi oleh latar belakang kehidupan dan pendidikan yang tidak lepas dari sumber hukum yang ada.
Oleh sebab itu maka Imam abu Hanifah dikenal sebagai ulama “ahl al-Ra’yi” dimana dalam menetapkan hukum baik yang diistinbatkan dari Al-Quran atau al-Hadist, beliau selalu memperbanyak penggunaan nalar dan lebih mendahulukan al-Ra’yu dari pada Khobar Ahad. Jika sedang menemukan hadist yang secara lahiriah bertentangan, maka beliau menetapkan hukum dengan menggunakan jalan Qias dan Isthsan. Sedangkan untuk mengetahui metode istidlal Imam Abu Hanifah, dapat dilihat dari pengakuan yang di buatnya sendiri yaitu:
a). “Sesungguhnya saya mengambil kitab Al-Qur’an dalam menetapkan hukum, jika tidak ditemukan, maka aku mengambilnya dari al-Hadits yang sahih yang tersiar secara mashur di kalangan orang-orang terpercaya, jika tidak ditemukan dari keduanya, maka aku mengambilnya dari pendapat orang-orang terpercaya yang aku kehendaki, lalu aku tidak keluar dari pandangan mereka, jika masalah tersebut sampai pada Ibrahim al-Sya’by, Hasan bin Sirin dan Sa’ad ibn musayyab, maka aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad”
b). Abu Hanifah bekata: Pertama-tama aku mencari dasar hukum dalam al-Qur’an kalau tidak ada aku mencarinya dalam sunah nabi, kalau tidak ada aku pelajari fatwa-fatwa para sahabat dan aku memilih mana yang paling kuat, tetapi jika orang telah melakukan ijtihad, maka akupun melakukan ijtihad
c). Dalam menanggapi persoalan, Imam Abu Hanifah selalu mengatakan : “Inilah pendapatku dan jika ada orang yang membawa pendapat yang lebih kuat dari aku, maka pendapat itulah yang lebih benar”
d). Beliau pernah suatu saat ditanya oleh seseorang: “Apakah yang telah engkau fatwakan itu benar dan tidak diragukan lagi?. Lalu ia menjawab: “Demi Allah, boleh jadi itu adalah fatwa yang salah yang tidak diragukan lagi akan kesalahannya.”
Berdasarkan kenyataan dari pernyataan diatas, terlihat bahwa Imam Abu Hanifah dalam menepatkan hukum syar’i (beristidlal) tidak selalu memutuskan melalui dalalahnya secara qath’i dari al-quran dan as-sunnah yang kesahihannya masih diragukan, tetapi menggunakan al-ra’yu. Sebab beliau sangat selektif dalam menerima as-sunnah, sehingga beliau masih memperhatikan mu’amalah manusia dan adat-istiadat serta urf mereka.
Dengan demikian dalam beristinbatnya Imam Abu Hanifah tetap menggunakan al-Qiyas sebagai dasar pegangannya, jika tidak bisa menggunakan al-Qiyas, mak berpegang pada istishah selama dapat dilakukan, jika tidak bisa, baru beliau berpegang pada adat dan urf.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Imam Hanafi dalam Menetapkan Hukum Islam.
Kota kufah yang letaknya jauh dari madinah sebagai kota tempat tinggal Rasulallah saw yang banyak mengetahui seluk beluk as-sunnah, membuat perbendaharaan hadits berkurang, disamping itu kota kufah yang letaknya ditengah- tengah kebudayaan persi dengan kondisi kemasyarakatannya telah mencapai tingkat peradaban cukup tinggi, banyak bermunculan berbagai macam persoalan kemasyarakatan yang memerlukan penetapan hukumnya padahal persoalan tersebut belum pernah terjadi dimasa Nabi, sahabat dan Tabi’in sehingga untuk menghadapinya diperlukan ijtihad atau al-Ra’yu. Factor itulah yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan dalam perkembangan pemikiran hukum islam di kufah, dengan di Madinah Hijaz.
Oleh sebab itulah ulama Madinah banyak sekali yang menggunakan hadits dalam menyelesaikan berbagai bentuk persoalan yang muncul dalam masyarakat, sedangkan di kufah pemakaian hadits sebagai dasar penetapan hukum syari’at hanyalah sedikit sebab dalam kenyataan al-hadist di kota kufah saat itu sedikit sekali dalam menanggapi masalah ini, Ayeed Amir Ali menyatakan bahwa karya-karya Abu hanifah, baik yang berkaitan dengan fatwa-fatwa maupun ijtihad-ijtihadnya saat itu (pada saat beliau masih hidup) belum dibukukan, tetapi setelah wafat murid-muridnya dan pengikutnya membukukan. Sehingga menjadikan madzhab ahl al-Ra’yi ini hidup dan berkembang dan dalam perkembangan selanjutnya berdiri sebuah madrasah, yang kemudian dikenal dengan sebutan “Madrasah Hanafi atau Madrasah ahl al-Ra’yi selain namanya yang terkenal menurut versi sejarah hukum islam sebagai “Madrasah kufah”.
Secara garis besar bahwa dasar-dasar Madzhab Imam Hanafy adalah bersandar kepada :
1. Al-qur’an
2. Sunnah Rasulullah dan atsar-atsar yang shahih serta telah terkenal diantara para ulama yang ahli
3. Fatwa-fatwa dari para sahabat
4. Qiyas
5. Istihsan
6.Adat yang telah berlaku dikalangan masyarakat umat islam

C. Cara Imam Hanafi dalam memberikan pengajaran

Imam Hanafy dalam memberikan pengajaran kepada murid-muridnya yang telah dewasa ialah dengan menekankan agar murid-muridnya dapat lebih kritis dan dewasa dalam berfikir, tidak hanya menitik beratkan kepada apa yang telah beliau jelaskan saja, dengan maksud agar para murid-muridnya dapat mencari dan menyelidiki dari mana asal dan sumber pengetahuan yang beliau sampaikan serta membahas hukum-hukun agama dengan sebaik-baiknya, seluas-luasnya dan dengan arti kata yang sebenarnya mengikuti ajaran Allah dan sunah-sunah rasul-Nya.
Lebih jelasnya bahwa Imam Hanafy terhadap para muridnya hanya selaku pengajar ( guru ) saja dan tidak terikat pribadi beliau. Mereka diberi kemerdekaan untuk berfikir, dibebaskan untuk memecahkan masalah-masalah yang perlu dipecahkan, bahkan sewaktu-waktu diperkenankan untuk membantah terhadap pengajaran-pengajaran dan atau pendapat-pendapat beliau tentang segala masalah yang kiranya terasa olehnya menyalahi wahyu ilahi atau berlawanan dengan hadits nabi, yang disertai dengan penyelidikan akal yang bersih, murni dari segala macam pengaruh.
Yang menonjol dari fiqh Imam Abu Hanifah ini antara lain adalah :
1. Sangat rasiona, mementingkan maslahat, dan manfaat.
2. Lebih mudah dipahami dari pada mazhab yang lain.
3. Lebih liberal sikapnya terhadap dzimis (warga negara yang muslim).
Hal ini bisa dipahami karena cara beristinbat Abu Hanifah selalu ; memikirkan dan memperhatikan apa yang ada di belakang nash yang tersurat yaitu illat-illat dan maksud-maksud hukum. Sedang untuk masalah-masalah yang tidak ada nash-nya beliau nerikan qiyas, ihtihsan, dan urf.
Kitab yang langsung dinisbahkan kepada Abu Hanifah adalah fiqh al-akbar, al-Alim wal Muta’alim, dan musnad. Sedangkan buku-buku lainnya banyak ditulis oleh muridnya yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asyaibani. Abu Yusuf kemudian menjadi ketua Mahkamah Agung zaman Khalifah Harun al-rasyid. Muhammad bin Hasan A-Syaibani menyusun Kitab-kitab al-Mabsuth, al-jami’ al-Shaghir, al-jami’ al-Kabir, al-siyar al-kabir, al-Siyar al-Asyghar, dan al ziyyadat.
D. Pandangan para ulama terhadap Abu Hanifah
Berikut ini beberapa penilaian para ulama tentang Abu Hanifah, diantaranya:
1. Yahya bin Ma’in berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh, dia tidak membicarakan hadits kecuali yang dia hafal dan tidak membicarakan apa-apa yang tidak hafal”. Dan dalam waktu yang lain beliau berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh di dalam hadits”. Dan dia juga berkata, “Abu hanifah laa ba’sa bih, dia tidak berdusta, orang yang jujur, tidak tertuduh dengan berdusta”.
2. Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Kalaulah Allah subhanahu wa ta’ala tidak menolong saya melalui Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri maka saya hanya akan seperti orang biasa”. Dan beliau juga berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang paling faqih”. Dan beliau juga pernah berkata, “Aku berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, ‘Wahai Abu Abdillah, orang yang paling jauh dari perbuatan ghibah adalah Abu Hanifah, saya tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah meskipun kepada musuhnya’ kemudian beliau menimpali ‘Demi Allah, dia adalah orang yang paling berakal, dia tidak menghilangkan kebaikannya dengan perbuatan ghibah’.” Beliau juga berkata, “Aku datang ke kota Kufah, aku bertanya siapakah orang yang paling wara’ di kota Kufah? Maka mereka penduduk Kufah menjawab Abu Hanifah”. Beliau juga berkata, “Apabila atsar telah diketahui, dan masih membutuhkan pendapat, kemudian imam Malik berpendapat, Sufyan berpendapat dan Abu Hanifah berpendapat maka yang paling bagus pendapatnya adalah Abu Hanifah … dan dia orang yang paling faqih dari ketiganya”.
3. Al-Qodhi Abu Yusuf berkata, “Abu Hanifah berkata, tidak selayaknya bagi seseorang berbicara tentang hadits kecuali apa-apa yang dia hafal sebagaimana dia mendengarnya”. Beliau juga berkata, “Saya tidak melihat seseorang yang lebih tahu tentang tafsir hadits dan tempat-tempat pengambilan fiqih hadits dari Abu Hanifah”.
4. Imam Syafii berkata, “Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan) dalam masalah fiqih hendaklah dia belajar kepada Abu Hanifah”
5. Fudhail bin Iyadh berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang faqih, terkenal dengan wara’-nya, termasuk salah seorang hartawan, sabar dalam belajar dan mengajarkan ilmu, sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan cara yang baik, menghindari dari harta penguasa”. Qois bin Rabi’ juga mengatakan hal serupa dengan perkataan Fudhail bin Iyadh.
6. Yahya bin Sa’id al-Qothan berkata, “Kami tidak mendustakan Allah swt, tidaklah kami mendengar pendapat yang lebih baik dari pendapat Abu Hanifah, dan sungguh banyak mengambil pendapatnya”.
7. Hafsh bin Ghiyats berkata, “Pendapat Abu Hanifah di dalam masalah fiqih lebih mendalam dari pada syair, dan tidaklah mencelanya melainkan dia itu orang yang jahil tentangnya”.
8. Al-Khuroibi berkata, “Tidaklah orang itu mensela Abu Hanifah melainkan dia itu orang yang pendengki atau orang yang jahil”.
9. Sufyan bin Uyainah berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah karena dia adalah termasuk orang yang menjaga shalatnya (banyak melakukan shalat)”.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Nama lengkap Imam Hanafi adalah “al-Nu’man bin Tsabit Ibnu Zufiy al-Taimy”, Imam Hanafi dilahirkan pada tahun 80 Hijrah bertepatan tahun 699 Masehi di sebuah kota bernama Kufah dan wafat di Baghdhad tahun 150 H./767M
Imam Abu Hanifah dalam menepatkan hukum syar’y (beristidlal) tida selalu memutuskan melalui dalalahnya secara qath’I dari al-quran dan as-sunnah yang kesahihannya masih diragukan, tetapi menggunakan al-ra’yu. Sebab beliau sangat selektif dalam menerima as-sunnah, sehingga beliau masih memperhatikan mu’amalah manusia dan adat-istiadat serta urf mereka.
Kota kufah yang letaknya jauh dari madinah sebagai kota tempat tinggal Rasulallah saw yang banyak mengetahui seluk beluk as-sunnah, membuat pembendaharaan hadits berkurang, disamping itu kota kufah yang letaknya ditengah- tengah kebudayaan persi dengan kondisi kemasyarakatannya telah mencapai tingkat peradaban cukup tinggi, banyak bermunculan berbagai macam persoalan kemasyarakatan yang memerlukan penetapan hukumnya padahal persoalan tersebut belum pernah terjadi dimasa Nabi, sahabat dan Tabi’in sehingga untuk menghadapinya diperlukan ijtihad atau al-Ra’yu.
Factor itulah yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan dalam perkembangan pemikiran hukum islam di kufah, dengan di Madinah Hijaz.

B. Saran
Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalanm makalah kami. Sehingga kami mengharapkan keritikan dan saran dari para pembaca yang sifatnya membangun untuk penbuatan makalah kami berikutnya. Harapan kami semoga makalah kami dapat memberi manfaat bagi penulis pada khususnya dan pada pembaca umumnya.

Daftar Pustaka

1. Jawad, Muhammad Mughniyyah ,”al-Fiqih Ala al-Madzhab al-Khamsah” Beirut, Libanon Dar al-Jawad,1998
2. Dimiathi, Syatha,Abu Bakar, Sayyid “ Inanah al-Thalibin” Surabaya Maktabar al-Hidayah
3. Shubhi mahmashani, falsafahal-Tasyri’ Bandung Ma’arif.1981
4. Abu Zahrah, Tarikh al-Madzhab al-Islamiah
5. Ibnu Abdil Bar, Intiqa’
6. Syeed Amir Ali, The Spirit of Islam
7. Abdul Qodir Tarikh al-fiqih al-Islami
8. Ma'shum Muhammad Zein, arus pemikiran empat mazhab.jombang darul hikmah, 2008
9. Djazuli, H.A. 2006. Ilmu Fiqh. Jakarta: Kencana.
10. Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
11. Khalil, Rasyad Hasan. 2009. Tarikh Tasyri’. Jakarta: Amzah.
12. Ghandur, Achmad El. 2006. Perspektif Hukum Islam. Yogyakarta: Putaka Fahima.
13. Rohayana, Ade Dedi. 2008. Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah. Jakarta: Gaya Media Pratama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar